DOKTRIN
ALLAH
BAB I: ADANYA ALLAH.
Sebelum Alkitab diwahyukan atau sebelum Firman Allah itu
diberitakan, manusia oleh akal budinya sebenarnya menyadari adanya Allah.
Manusia menyadari adanya Allah karena ia adalah mahluk satu-satunya di bumi ini
yang memiliki roh didalam dirinya. Kesadaran akan adanya Allah itu belum dalam
bentuk baku, teratur dan sistematis. Juga pembuktian akan adanya Allah itu pada
mulanya bersifat tidak langsung dari wahyu umum.
1. Adanya Allah menurut manusia itu pertama-tama
disimpulkan dari wahyu umum. Alam semesta ciptaan Allah itu sebenarnya amat
luar biasa. Tanpa terasa oleh manusia, alam semesta itu ternyata bergerak dan
digerakkan oleh suatu kekuatan yang teratur, harmonis dan akurat, yang
membentuk hukum alam yang maha luas. Sampai sekarangpun manusia masih mengira-ngira
luas dan besarnya jangkauan hukum tersebut. Alam semesta inilah yang sebenarnya
merupakan pernyataan Allah secara umum tentang adanya Dia; sehingga dikenal
dalam dunia theologia dengan istilah wahyu umum, “General Revelation”, Roma
1:19-20; Mazmur 19:2. Manusia sejak zaman purbakala sudah mengenal serta
mengalami bagian kecil dari kekuatan hukum alam itu. Hujan, panas matahari,
angin, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan lain-lain, merupakan gejala alam
dalam percikan kekuatannya yang tak dapat ditandingi oleh manusia itu sendiri.
Dari sinilah awal mula manusia mulai menyadari adanya informasi dari luar
dirinya tentang adanya Allah, walaupun masih sederhana dan bersifat umum
sekali.
1.1 Manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mengenal Allah
yang benar. Walaupun dalam rohnya, manusia menyadari adanya Allah, tetapi tanpa
pertolongan informasi dari luar dirinya sendiri, ia tidak akan mampu memahami
secara akali tentang Allah yang benar itu, 1 Yohanes 5:20. Hal itu disebabkan
karena :
a. Dosa manusia itu yang memisahkannya dari Allah. Oleh
dosa, semua manusia sudah kurang kemuliaan dari Allah, Roma 3:23. Terjadi
ketidak seimbangan dalam roh, jiwa dan tubuh manusia. Itulah sebabnya manusia
duniawi (manusia yang belum dijamah oleh pekerjaan Firman dan Roh Kudus), tidak
dapat mengenal Allah yang benar karena tidak menerima apa yang berasal dari Roh
Allah, 1 Korintus 2:14.
b. Adanya perbedaan substansial manusia dan Allah, Yesaya
55:9. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, perbedaan substansial itu ternganga
menjadi jurang yang tak terseberangi. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
Manusia: Allah:
Kelihatan Tidak kelihatan
Fana Kekal
Terbatas Tidak terbatas
Kelihatan Tidak kelihatan
Fana Kekal
Terbatas Tidak terbatas
Dengan perbedaan yang hakiki ini, tanpa bantuan informasi
dari luar dirinya, manusia itu sendiri tidak akan sanggup memahami Allah yang
benar itu.
c. Setan berusaha mengikis habis informasi yang benar
tentang Allah. Setan tahu bahwa waktu penghukuman baginya sudah dekat. Wahyu
12:12. Yesus sendiri memberi perumpamaan bagaimana giatnya setan berusaha mengikis
habis benih yang benar tentang Allah, Matius 13:19cf.
d. Pengalaman manusia itu sendiri. Alkitab mencatat, bahwa
Kain itu bukanlah orang yang tidak mengenal Allah. Kejadian 4:3. Tetapi oleh
kekerasan hatinya ia memilih jalannya sendiri dan makin jauh dari Allah,
Kejadian 4:16; Yudas 1:11. Keturunannya menjadi orang-orang yang tak mengenal
Allah. Keturunan Nuh pun mempunyai pengalaman yang serupa. Hal itu terjadi
berulang-ulang dalam sejarah. Memang kedagingan manusia, mencondongkan manusia
kepada dosa, Kejadian 6:5; Roma 7:22-23cf, yang makin menjauhkan manusia dari
pengenalan akan Allah.
1.2. Pertama-tama Allah menyatakan keberadaanNya kepada
manusia lewat wahyu umum. Sudah jelas bahwa bumi adalah sebagian kecil dari
alam semesta ciptaan Allah. Sedangkan bumi dengan segala isi ciptaan itu
diadakan bagi tempat kediaman manusia, Kejadian 2:4-7; Mazmur 115:16; Yesaya
45:18. Tujuan semuanya ini supaya manusia mengenal Allah, memuliakanNya, dan
bersyukur kepadaNya, Roma 1:21. Sebenarnya hal utama yang dapat dipelajari
manusia dari alam semesta ini adalah kekuatan, kebesaran, kekekalan dan
harmoninya hukum alam. Semua kebijaksanaan itu secara tidak langsung kelak
membawa manusia kepada perancang bahkan sumber dari segala sesuatu: “Sang
Pencipta”.
1.3. Akibat negatif bila wahyu umum tidak dilengkapi dengan
wahyu khusus. Sejarah mencatat bahwa dari merenungkan kekuatan, kebesaran,
kekekalan dan harmoninya hukum alam, para orang bijak zaman purba mencari Allah
didalamnya. Dari hasil pemikiran jenius mereka, dirumuskanlah
kesimpulan-kesimpulan tentang Allah. Inilah cikal-bakal agama-agama dunia;
agama-agama alam; natural religion. Allah bagi mereka digambarkan sesuai dengan
jalan pikiran mereka, sehingga muncullah berbagai ragam allah-allah.
Wahyu khusus – special revelation, adalah Alkitab yang
diilhamkan Allah. Dalam Alkitablah Allah yang benar itu dinyatakan. Bila wahyu
umum tidak dilengkapi oleh wahyu khusus, maka akibat negatifnya yakni manusia
tidak dapat menemukan Allah yang benar. Hal itu terbukti dari begitu banyaknya
agama atau aliran kepercayaan manusia di dunia ini.
2. Adanya Allah itu tidak mampu disangkal oleh manusia.
Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20. Walaupun manusia dari dirinya sendiri tidak mampu
mengenal Allah yang benar, bahkan akhirnya banyak orang yang menyangkal
keberadaan Allah, tetapi manusia hanya dapat berargumentasi dengan dirinya
sendiri. Adanya Allah yang tercermin dalam wahyu umum itu tidak dapat disangkal
oleh manusia. Berbagai kesaksian dari luar manusia memberi gambaran adanya Allah,
Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20.
3. Adanya Allah dalam argumentasi. Suatu kewajiban orang
percaya untuk memberi jawaban kepada siapa saja tentang imannya, 1 Petrus 3:15.
Kewajiban kita untuk berapologia dengan memberi argumentasi bahwa Allah ada:
3.1 Argumentasi Kosmologis. Kata ‘kosmos’ itu berarti
‘dunia’; dan dapat juga berarti ‘alam semesta – universe’. Argumentasi
kosmologis itu menunjuk kepada alam semesta, kemudian berupaya membuktikannya
dari hukum sebab akibat. Keberadaan dari akibat itu senantiasa menunjuk pada
keberadaan dari sebabnya. Alam semesta itu ternyata bergerak dan digerakkan
oleh suatu kekuatan yang teratur, harmonis dan akurat, yang membentuk suatu
hukum alam yang maha luas dan dahsyat.
Bila alam semesta yang digambarkan tadi adalah akibatnya,
menjadi pertanyaan: ‘Apa’ atau lebih tepat ‘siapakah’ penyebab dari semua ini?
Manusia memang tidak dapat menjawab pertanyaan besar ini. Berbagai hypothesa
telah diteorikan oleh para ahli astronomi dan ilmu pengetahuan alam, tetapi
semuanya tidak memuaskan. Alamlah sendiri yang menjadi saksi bahwa penyebab
awal – causa prima dari semua ini adalah Allah, Sang Pencipta itu, Kejadian
1:1; Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20; Ibrani 11:3.
3.2 Argumentasi Teleologis. Argumentasi ini adalah
pembuktian dari bentuk dan tujuan. Tidak sekedar bahwa alam semesta itu ada,
tetapi alam semesta dan isinya itu mempunyai bentuk sempurna dan mempunyai
fungsi tertentu, sesuai peran penciptaannya. Masing-masing ciptaan yang tak
terhitung jumlah dan jenisnya dalam alam ini menunjuk pada maksud penciptaannya
dan masing-masing mempunyai peran tertentu, bahkan kesemua ciptaan itu ada
dalam harmoni satu dengan yang lain.
Alam semesta – Bima Sakti – Melky Way System diciptakan
sedemikian rupa, sehingga tata surya kita merupakan satu dari sekian juta tata
surya yang ada dalam sistem alam semesta ini. Kemudian bumi ini merupakan
planet teristimewa dalam susunan tata surya kita. Sedangkan planet bumi ini
diciptakan sedemikian rupa, dilindungi oleh sistem perlindungan sedemikian
rupa, diisi oleh tak terbilang jenis ciptaan dalam kontrol hukum yang harmoni
satu dengan lainnya; sehingga manusia dapat hidup di dalamnya.
Menjadi pertanyaan: Siapakah yang merancang segala sesuatu
ini dengan sempurna? Apakah sebenarnya tujuan penciptaan segala sesuatu ini?
Dapatkah manusia mengukur intelegensia dari sang perancang semua ini?
Argumentasi dari bentuk dan tujuan adanya ‘suatu’ yang jauh melebihi
inteligensia manusia, Yesaya 55:8-9, bahkan tanpa batas, yang lebih besar dari
alam semesta, 2 Tawarikh 6:18.
3.3 Argumentasi Antropologis. Kata’anthropos’ dalam bahasa
Grika berarti ‘manusia’. Dari keberadaan manusia itu sendiri argumentasi ini
bertitik tolak. Manusia adalah ‘master piece’ dari tindakan penciptaan Allah.
Manusia yang diciptakan dalam gambar Allah menjadi mahkota kemuliaan dari
segala ciptaan, Kejadian 1:1-28; Mazmur 94:9. Manusia jauh lebih berkuasa dari
pada gabungan seluruh binatang ciptaan. Seekor monyet yang paling sempurna
tidak dapat dibandingkan dengan manusia dalam keseluruhan keberadaannya. Teori
evolusi sebenarnya adalah usaha untuk melepaskan manusia dari kelayakan dan
pertanggung-jawaban kepenciptaan bagi dirinya. Manusia yang cerdas adalah salah
satu argumen terbesar bagi adanya Allah yang cerdas pula. Bermilyard-milyard
umat manusia, masing-masing berbeda dan unik, pun semua dasar kepenciptaan
mereka, membuktikan adanya seorang pencipta.
3.4 Argumentasi Ontologis. Ontologi adalah bagian dari isi
filsafat yang mempelajari tentang keberadaan yang hakiki dari sesuatu. Ontologi
datang dari kata Grika ‘ontos’ yang berarti ‘yang sedang berada’. Argumentasi
ontologis dihubungkan dengan argumentasi anthropologis, yakni yang membicarakan
keberadaan hakiki dari manusia itu.
Manusia bukan hanya sekedar ciptaan yang cerdas belaka, ia
juga adalah mahluk yang secara intuitif percaya dan mengetahui akan adanya
Allah. Intuisi berbicara tentang pemahaman atau pengetahuan dimana manusia
memilikinya tanpa proses berpikir. Manusia mengetahui secara intuitif bahwa ada
Allah. Ia dilahirkan dengan pengetahuan ini di dalam dirinya. Kadang-kadang hal
ini disebut sebagai agama instink di dalam manusia, yang membuatnya ingin
menyembah sesuatu atau seseorang. Manusia diciptakan untuk menjadi seorang
penyembah untuk menyembah Allah. Manusia tidak akan ingin menyembah Allah bila
Allah tidak menaruh di dalam manusia itu pengetahuan intuitif tentang
keberadaanNya sendiri.
Argumentasi menjadi hakiki oleh fakta adanya suatu
keyakinan universal pada ‘satu allah’ atau ‘allah-allah’ dalam setiap bangsa
pada permukaan bumi ini. Apabila manusia tidak menerima atau mendapatkan Allah
yang benar, ia membuat allah/dewa bagi dirinya sendiri untuk disembah, untuk
memuaskan pengetahuan instinktifnya itu.
Percaya akan Allah bukan hanya sekedar hasil dari kondisi
budaya. Secara ontologis, manusia tercipta dalam roh, jiwa dan tubuh. Dari
aspek rohnya inilah muncul secara intuitif kesadaran dan pengetahuan akan
adanya Allah, Kisah Para Rasul 17:23-24; Roma 1:18-32; Yohanes 1:3-7; Mazmur
115:1-8.
3.5 Argumentasi Moral. Etika adalah pengetahuan yang
mempelajari baik atau buruk perbuatan manusia dilihat dari sistim nilai
tertentu. Moral adalah tindakan baik atau buruk manusia itu sendiri. Manusia
adalah mahluk moral. Ia memiliki suatu perasaan hakiki tentang baik atau buruk,
benar atau salah, sebaik perasaan tentang pertanggung-jawaban untuk mengikuti
apa yang benar dan menolak apa yang salah. Alkitab menamainya ‘suara hati –
conscience’ dan memandangnya sebagai pemberian Allah.
Apabila manusia melanggar suara hatinya, ia tunduk pada
kejahatan dan suatu rasa takut akan penghukuman. Walaupun kata hati itu dapat
dikondisikan atau dilatih dengan arahan-arahan berbeda, kata hati itu tetaplah
suatu yang umum pada manusia secara inheren. Kata hati itu bersifat universal,
dan menjadi saksi tentang keberadaan dari suatu pemberi hukum dan hakim
tertinggi, yang menciptakan di dalam manusia rasa pertanggung-jawaban bagi
kebenaran ini, Roma 2:14-15; 1 Timotius 4:2; Titus 1:15; Ibrani 9:14; Yohanes
8:9.
3.6 Argumentasi Biologis. Kata Grika ‘bios’ berarti
‘hidup’. Kata ini merupakan suatu fakta ilmiah dimana hidup itu hanya dapat
datang dari hidup yang sudah ada sebelumnya, tidak semata-mata dari benda. Hal
itu mengusut semua kehidupan kembali kepada sumbernya. Akhirnya kita harus
kembali kepada Allah sendiri. Harus ada sesuatu yang menjadi sumber utama
kehidupan itu. Asal muasal dari semua kehidupan dan pemilik dari kehidupan asal
dan kekal dari Dia sendiri. Sumber kehidupan itu ialah Allah, Mazmur 36:10;
Yohanes 11:25; 14:6; 10:28; 1:1-5.
3.7 Argumentasi Historis. Sejarah manusia menunjuk pada
satu tangan yang tak kelihatan, yang membimbing, mengatur dan mengawasi nasib
bangsa-bangsa. Sebagai contoh, Babylon jatuh pada suatu malam ketika para
tentara lupa menutup pintu-pintu pada dinding yang melaluinya air sungai besar
Efrat mengalir. Nabi-nabi Allah telah mengatakan ini sebelumnya, lebih seratus
tahun sebelum hal ini terjadi, Yesaya 45:1-5; Daniel 5. Suatu penelitian
seksama dari sejarah akan mengungkapkan beberapa ilustrasi dari fakta ada
tangan Allah yang bergerak untuk menyelesaikan kehendakNya, Wahyu 17:17.
Sejarah membuktikan adanya Allah yang mengawasi jalannya sejarah.
3.8 Argumentasi Kristologis. Satu dari
argumentasi-argumentasi terbesar adalah argumentasi Kristologis. Kristus yang
historis adalah suatu fakta; dan adalah tidak mungkin untuk menggambarkan
pribadi dari Yesus Kristus terpisah dari adanya Allah. KelahiranNya dari
perawan, kehidupanNya yang tanpa dosa, mujizat-mujizat, pengajaran, kematian, penguburan,
kebangkitan dan keangkatanNya ke Surga yang kesemuanya itu tak mungkin
dijelaskan terpisah dari Allah. Yesus Kristus adalah wahyu terbesar dari adanya
Allah. Semua keberadaanNya, semua perbuatanNya, dan semua yang Ia katakan,
membuktikan adanya Allah, Yohanes 1:1-3, 14-18; 14:6-9; 1 Timotius 3:16; Ibrani
1:1-3; 1 Yohanes 1:1-3.
3.9 Argumentasi Bibliologis. Alkitab adalah saksi untuk
keberadaan Allah. Dalam penjelasan Doktrin Pewahyuan, Alkitab melampaui semua
tulisan lain yang diwahyukan secara ilahi; tidaklah mungkin bagi kitab-kitab
itu menjadi sekedar produksi kemanusiaan belaka. Semua kitab itu membuktikan
keberadaan dari suatu kecerdasan yang lebih tinggi yang secara berdaulat
membimbing para penulis dalam tugas mereka menulis kitab-kitab itu. Sebagai
saksi yang tak mungkin keliru dari semua yang Alkitab ungkapkan tentang Allah,
sifat dasarNya dan maksud-maksudNya harus diterima seakurat mungkin.
3.10 Argumentasi Keharmonisan. Kata ‘harmoni’ sebenarnya
berarti ‘sesuai, seimbang, serasi’. Kesembilan argumentasi yang ada sebelum ini
semuanya ada dalam kesesuaian. Ada keseimbangan dan keserasian diantara semua
itu. Tidak ada satupun argumentasi yang telah diungkapkan itu membawa suatu
pemahaman yang bertentangan, tetapi semua argumentasi itu membentuk suatu
keharmonisan secara keseluruhan. Inilah argumentasi dari keharmonisan itu.
Fakta bahwa argumentasi Kosmologis, Theologis, Anthropologis, Ontologis, Moral,
Biologis, Kristologis dan Bibliologis, semuanya tercampur bersama dalam
keharmonisan.
Semuanya itu berbicara tentang adanya Allah dan bila tidak
demikian maka semua fakta yang menghubungkannya satu dengan yang lain itu tidak
dapat dijelaskan. Percaya kepada keberadaan dari pribadi Allah yang ada dengan
sendirinya adalah dalam harmoni dengan semua fakta tentang sifat mental dan
moral manusia; sebagaimana juga dengan sifat dari materi alam semesta. Manusia
sungguh-sungguh tidak dapat menolak fakta tentang adanya Allah. Hanyalah suatu
kedunguan yang disengaja bila orang mau menolak bukti kesimpulan yang ada ini.
4. Kebutuhan intrinsik manusia untuk mengenal Allah yang
benar. Menunjuk pada argumentasi anthropologis, ternyata secara umum, didalam
hatinya manusia mempunyai suatu kebutuhan untuk mengenal Allah yang benar.
Alkitab mencatat bahwa manusia terdiri dari roh, jiwa dan tubuh, Kejadian 2:7;
1 Tesalonika 5:23. Masing-masing bagian manusia itu mempunyai fungsinya
sendiri-sendiri, tetapi substansi manusia ada pada rohnya, Yohanes 6:63;
Yakobus 2:26. Dengan tubuhnya, manusia bereksistensi di dunia ini, menjadi
mahluk alamiah, Kejadian 2:7; 1 Korintus 25:44-50; dan mahluk biologis,
Kejadian 1:27-28. Jadi, dengan tubuhnya manusia ada kontak dengan alam
lingkungannya. Dengan jiwanya, manusia menyadari kemanusiaan dan pribadinya,
sehingga dengan demikian ia dapat berkomunikasi dan bersosialisasi dengan
mahluk-mahluk lain dalam dunia. Dengan rohnya, manusia menyadari dimensi
rohaninya; dan dengan rohnya manusia dapat berkomunikasi dengan dunia roh.
Dengan roh yang menjadi substansi manusia, ternyata manusia
itu secara intrinsik butuh pengenalan akan Allah. Sejarah perkembangan budaya
membuktikan bahwa semua bangsa di dunia ini mempunyai latar belakang keyakinan
terhadap dunia rohani. Tetapi oleh karena dosa, manusia tidak dapat menemukan
Allah yang benar; itulah sebabnya manusia menciptakan berhala bagi dirinya
sendiri, Roma 1:21-23; Ulangan 4:16-18. Bila manusia tidak puas dengan berhala
dan ia merasa mampu atau kuat, ia menjadikan dirinya sendiri berhala. Atheisme
modern pada dasarnya adalah upaya manusia menolak keberadaan Allah yang benar
dan menjadikan dirinya sendiri allah dalam pikirannya sendiri.
Pengkultus-individuan seseorang itu sebenarnya menjadikan seseorang itu idola;
apakah ia seorang politikus, artis, musisi dan lain-lain. Orang-orang memuji-muji
sang idola itu secara berlebih-lebihan. Alkitab mencatat, berhala itu ditulis
dengan kata ‘idol’.
Secara tegas Alkitab memperingati orang-orang percaya:
“Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala – idol”. Hal itu ditegaskan
oleh Alkitab karena kecenderungan manusia, oleh kebutuhan intrinsiknya untuk
mengenal Allah yang benar. Bila karena dosa lalu manusia itu tidak dapat
menemukan Allah yang benar, ia akan mencari objek lain untuk disembah.
BAB II: ALLAH YANG MEWAHYUKAN DIRI-NYA SENDIRI
Allahlah yang berinisiatif memperkenalkan diriNya sendiri
kepada manusia. Ibrani 1:1 jelas menulis bahwa ‘sejak zaman purba Allah
berulang kali dan dalam berbagai cara berbicara.” Berbicara langsung, Kejadian
18:1-33; Bilangan 12:8; melalui penglihatan, Yehezkiel 1:1; Bilangan 12:6;
Zakaria 1:7-8; Daniel 2:18; lewat mimpi, Daniel 2:1, 24; Matius 1:20; 2:13,19;
dengan tanda-tanda ajaib, Keluaran 19:16-19; 20:18, 21; Oleh bimbingan Roh
Kudus, Matius 16:17; Kisah Para Rasul 6:10; Juga dalam berbagai penampakan, Kejadian
32:22-30; Hakim 13:1-23; Daniel 5:5. Bahkan Allah sendiri dalam diri Anak
Tunggal-Nya menyatakan diri, Ibrani 1:2; I Yohanes 1:1-3; Yohanes 7:16; 12:49.
Kesemua ini ditambah dengan uraian, penjelasan, ungkapan,
kejadian penting bagi sejarah dunia, direkam Allah dan diilhamkan kepada para
hambaNya, Yesaya 34:16; II Timotius 3:16; dalam bentuk tulisan yang kita kenal
dengan istilah Alkitab. Itulah wahyu khusus – special revelation. Beginilah
Allah memperkenalkan diriNya sendiri kepada manusia; yakni dengan mewahyukan
diriNya sendiri. Bila tidak demikian, tidaklah mungkin manusia mengenal Dia
dengan benar.
1. Wahyu khusus adalah untuk mengungkapkan kepada manusia
siapakah Allah itu. Firman Allah yang tertulis atau Alkitab itu disebut wahyu
khusus, karena melaluinya secara khusus Allah mewahyukan diri-Nya kepada
manusia. Cara Allah berbicara kepada manusia yang memakan waktu ribuan tahun
itu, tidak akan dapat diikuti manusia yang umur rata-ratanya tidak sampai satu
abad itu. Tetapi dengan mengilhamkannya dalam bentuk tulisan, maka manusia
dapat mempelajari siapa Allah itu dari informasi tertulis yang lengkap.
1.1 Alkitab sebagai media pengajaran satu-satunya tentang
Allah -Theologia proper. Kerinduan manusia untuk mempelajari Allah, melahirkan
berbagai spekulasi filosofis, baik yang disampaikan secara lisan maupun secara
tertulis; menggambarkan siapa Allah menurut versi mereka masing-masing. Setiap
agama dan kepercayaan mempunyai gambaran sendiri-sendiri tentang Allah, tetapi
hanya merupakan upaya menusia memahami secara tidak langsung lewat wahyu umum.
Tetapi untuk mempelajari Allah yang benar itu, hanyalah
Alkitab sumber satu-satunya yang benar dan dapat dipercaya. Karena Alkitab itu
diwahyukan Allah kepada manusia untuk menjadi media pengajaran formal satu-satunya
tentang Allah. Alkitab dalam Firman Allah dan Firman Allah itu adalah kebenaran
– the truth, Yohanes 17:17. Itulah sebabnya pengetahuan tentang Allah dengan
dasar satu-satunya sumber informasi – Alkitab – disebut theologia proper,
secara harafiah berarti: pengetahuan tentang Allah yang sebenar-benarnya.
1.2 Alkitab yang diwahyukan dijamin benar dan menjadi
jaminan. Sebagai satu-satunya sumber yang benar dan dapat dipercaya dalam
mempelajari pengetahuan tentang Allah, ada dua sifat azasi Alkitab yang perlu
dijelaskan secara singkat, sebagai dasar pengajaran, yakni:
a. Alkitab itu tidak pernah salah (inerrancy). Sifat
pewahyuan Alkitab itu dibuktikan dari keadaan Alkitab itu sendiri yang tidak
pernah salah. Dari berbagai kesaksian dari para penyelidik Alkitab ini, selalu
dibuktikan kebenarannya. Sebagai contoh: Tidak satupun tempat yang disebut
dalam Alkitab lalu tidak dapat dibuktikan oleh ilmu purbakala. Sifat-sifat alam
yang ditulis Alkitab; angin, arus laut, musim, flora, fauna dan seterusnya,
semuanya benar. Informasi sejarah begitu akurat. Apalagi informasi tentang
sifat manusia dan kemanusiannya, semuanya tepat.
Ada beberapa hal yang sukar dipahami dalam Alkitab, tetapi
hal itu karena keterbatasan manusia itu sendiri untuk memahaminya dan satu demi
satu mulai terungkap. Ada beberapa hal yang belum terbukti; hal itupun karena
Alkitab bersifat nubuatan dan hal-hal itu mulai tergenapi satu demi satu. Ada
halangan-halangan lain yang berupa kesulitan penerjemahan bahasa; hal itupun
dapat teratasi satu demi satu oleh para ahli yang dibimbing oleh Roh Kudus.
Alkitab itu tidak pernah salah (inerrancy); dijamin benar
untuk menjadi sumber satu-satunya bagi mereka yang mau belajar mengenal Allah
yang benar.
b. Alkitab itu otoritas tertinggi (sola scriptura). Ada
banyak pandangan, penafsiran atau ajaran tentang Allah; tetapi semuanya harus
dirujukkan kebenarannya dengan Alkitab. Sebab Alkitablah yang menjadi ukuran
satu-satunya sehingga menjadi otoritas tertinggi. Apa saja pendapat, pandangan,
penafsiran ataupun ajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab, harus ditolak. Hal
itu prinsipil, supaya manusia tidak tersesat.
Tuhan Yesus menjadikan Alkitab sebagai ukuran, Matius
4:4,7,10; Lukas 24:44-48. Para Rasul-pun menjadikan Alkitab itu ukuran
satu-satunya, Kisah Para Rasul 1:20; 2:16cf; Roma 1:17; 4:6cf; 1 Petrus 2:7,10.
Bapa-bapa Gereja menjadikan Alkitab itupun ukuran satu-satunya. Inilah yang
disebut dengan prinsip sola scriptura.
Alkitab itu adalah otoritas tertinggi. Semua penafsiran,
ajaran atau pendapat, harus merujuk kepada Alkitab. Konsekuensinya yakni semua
penafsiran, ajaran atau pendapat yang tidak sesuai dengan Alkitab itu, harus
ditolak.
1.3. Allah sendiri membela kebenaran Alkitab dengan memberi
bukti. Setan tahu bahwa poros pengajaran tentang Allah ada dalam Alkitab.
Sejarah mencatat, orang-orang yang dipakai setan berusaha membelokkan sejarah
bahkan berusaha memusnahkan Alkitab. Tetapi Allah sendirilah yang melindungi
ilham-Nya itu sehingga tetap utuh untuk menjadi kesaksian sepanjang zaman,
Yesaya 34:16; Yeremia 36:1-32; Matius 5:18; 24:35; Lukas 16-17.
a. Bukti sejarah penyusunan Alkitab. Dari pembuktian
sejarah dan naskah-naskah kuno, dapat dibuktikan bahwa Allah sendirilah yang
melindungi naskah-naskah kuno penulisan wahyu Allah yang awal. Penemuan
naskah-naskah kuno gua Qumran di tepi Laut Mati, merupakan bukti otentik.
Naskah-naskah kuno yang tetap terpelihara itulah yang memungkinkan Alkitab
terkumpul seperti yang ada sekarang ini.
b. Bukti sejarah dunia dalam kaitan dengan Alkitab. Sejarah
dunia mencatat bahwa semua usaha manusia untuk memusnahkan Alkitab itu selalu
gagal. Manusia memang tidak mungkin memusnahkan Firman Allah itu.
1.4 Manusia yang terbatas itu harus percaya pada keterangan
Alkitab, bila ia rindu mengenal Allah yang benar. Orang yang tidak percaya
Firman Allah itu tidak akan berjumpa Yesus Juruselamat dan tidak mendapatkan
keselamatan itu. Orang yang tidak menerima keselamatan dari Yesus Kristus,
tidak akan mengenal Allah yang benar, Yohanes 5:38-40. Untuk mengenal Allah
dengan benar memang ada prosesnya. Kunci awal pembuka pengenalan akan Allah
adalah percaya.
a. Iman timbul dari mendengar Firman Allah, Roma 10:17.
Sudah dijelaskan di depan bahwa orang mengenal Allah dengan keyakinan.
Sedangkan keyakinan yang benar – iman – berdasarkan Firman Allah, Roma 10:17.
Iman adalah konsep kebenaran (the truth) yang didasarkan pada Firman Allah.
Jadi iman kepada Allah adalah kebenaran-kebenaran tentang Allah yang didasarkan
pada Firman Allah.
b. Tanpa iman, tidak mungkin orang berkenan kepada Allah,
Ibrani 11:6a. Sudah jelas, bahwa tanpa konsep kebenaran Firman Allah, tidak
seorangpun berkenan kepada Allah. Manusia tidak dapat mencari Allah dengan
kebenarannya sendiri, Yudas 1:11. Allah hanya berkenan ditemui lewat konsep
kebenaran Firman Allah itu sendiri.
c. Siapa berpaling kepada Allah, harus percaya bahwa Allah
ada, Ibrani 11:6b. Percaya merupakan respons seseorang secara pribadi kepada
konsep kebenaran Firman Allah itu, Roma 10:16. Contoh terbesar adalah
orang-orang Yahudi itu. Walaupun mereka mempunyai konsep kebenaran Firman
Allah, mereka beriman; tetapi ketika kebenaran itu sendiri datang, mereka tidak
percaya, Yohanes 1:11; 3:18,36; 6:36, 66; 10:25.
Berbeda dengan Abraham bapa orang beriman. Ketika Firman
Allah datang padanya, ia memberi respons positif; Abraham percaya kepada Allah
melalui FirmanNya, Roma 4:3; Kejadian 15:1-6. Jadi percaya adalah tindakan
manusia merespons Firman Allah secara positif dengan menerima Firman Allah
dengan segenap hati. Untuk memulai pengenalan akan Allah, maka seseorang harus
percaya sesuai Firman Allah bahwa Allah ada dan memberi pahala kepada mereka
yang mencarinya.
2. Allah menurut Alkitab – Allah yang mewahyukan diriNya
kepada manusia. Awal dari Alkitab adalah pernyataan awal Allah tentang diriNya
sendiri. Awal dari Firman tertulis itu adalah deklarasi awal tentang Allah.
Dari sinilah awal dari pengetahuan tentang Allah itu.
2.1 Allah memperkenalkan diriNya sendiri secara bertahap
dan progresif kepada manusia. Inilah prinsip utama belajar tentang Allah. Allah
tidak menyatakan diri sekaligus kepada manusia, melainkan bertahap dan progresif.
Perlu dicamkan bahwa tahapan dan perkembangan maju dari pernyataan Allah
tentang diri-Nya itu memakan kurun waktu ribuan tahun. Umur manusia tidak
seperti itu. Itulah sebabnya tahapan dan perkembangan tersebut dicatat dalam
Alkitab untuk kelak menjadi kesaksian bagi manusia dan kemudian dapat
dipelajari oleh manusia itu.
2.2 Perkenalan pendahuluan, Kejadian 1:1. Kejadian 1:1 itu
bukan sekedar awal dari pernyataan Allah tentang diriNya sendiri, melainkan
sekaligus sebagai dasar pengenalan akan Allah. Dari dasar inilah, secara
bertahap dan progresif Allah memperkenalkan diriNya kepada manusia makin dalam
dan luas.
2.3. “Allah” dalam Kejadian 1:1. Kata ‘Allah’ dalam
Kejadian 1:1 itu merupakan subjek kalimat dari ayat itu. Karena merupakan
subjek atau pokok dari kalimat itu, maka kata ‘Allah’ itulah yang lebih dahulu
dijelaskan singkat.
Kata ‘Allah’ itu sebenarnya diterjemahkan dari kata ELOHIM
(Ibrani), GOD (Inggris). Kata ELOHIM itu berarti ‘Maha Kuasa’ – Almighty
(Inggris). Jadi kata Allah disini lebih menunjuk pada sifatNya, yakni sifat
kemaha-kuasaan itu dan belum menunjuk pada pribadi.
Walaupun nanti akan diuraikan lebih luas, tetapi sudah
perlu dimulai disini sebagai pembukaan: Kata ‘Allah’ dalam bahasa Indonesia itu
sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Tetapi secara gramatikal, kata tersebut
adalah kata benda tunggal – singular. Sedangkan kata ELOHIM itu mengandung
makna jamak – plural. Dalam kandungan makna jamak inilah pemahaman Bapa, Putra
dan Roh Kudus dapat dijelaskan kelak.
Tetapi bukan karena kata ELOHIM itu mengandung makna jamak
lalu Allahnya Alkitab itu banyak dan agamanya Alkitab menjadi Polytheisme.
Melainkan Alkitab dengan tegas mengajarkan: “Dengarkanlah, hai orang Israel :
TUHAN itu Allah kita. TUHAN itu esa !” Ulangan 6:4. Dengan demikian, kata
ELOHIM itu bila menunjuk pada Allahnya Alkitab, tidak akan diterjemahkan
menjadi ‘Allah-Allah’ atau ‘Gods’ (Inggris), melainkan tetap diterjemahkan
dengan kata ‘Allah’ atau ‘God’ (Inggris).
Jadi sejak awal, secara implisit, Allahnya Alkitab itu
sudah bersifat unik – tidak ada duanya – tidak ada persamaannya. Yesaya
menulis: “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah ? . . .”, Yesaya 40:18.
2.4. ‘Pada mulanya’ , dalam Kejadian 1:1. Kata ini dalam
bahasa aslinya mengandung makna waktu. Sedangkan waktu dalam pemahaman ini
adalah kekekalan masa lampau, karena manusia tidak tahu berapa jauhnya masa
lampau itu. Melihat rangkaian kata itu dalam kalimatnya, maka kata ‘pada
mulanya’ itu, bukanlah keterangan untuk kata Allah, melainkan keterangan untuk
kata-kata ‘langit dan bumi’.
2.5. ‘Pada mulanya Allah’, dalam Kejadian 1:1. Kata-kata
ini membawa pemahaman bahwa Allah terkait dengan masa lalu. Tetapi karena kata
‘pada mulanya’ itu lebih menunjuk sebagai keterangan untuk kata-kata ‘langit
dan bumi’, menjadi jelaslah pemahaman bahwa Allah itu sudah ada sebelum
dimulainya ukuran kekekalan masa lampau itu. Waktu itu memang menunjuk pada
kefanaan akibat dosa. Jadi sebelum ada ide tentang waktu, Allah sudah ada.
Pernyataan Alkitab tentang ‘pada mulanya Allah’ itu
ternyata merupakan pernyataan tegas dari Allah sendiri untuk menihilkan
isme-isme tentang allah lainnya, misalnya:
a. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan atheisme.
b. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan animisme.
c. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan polytheisme.
d. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan dualisme.
b. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan animisme.
c. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan polytheisme.
d. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan dualisme.
2.6. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’,
Kejadian 1:1. Ayat ini sungguh-sungguh menunjukkan kedaulatan Allah dalam
bertindak. Di dalam Allah-lah segala takdir berawal, sebab Ia maha kuasa dan
sekaligus berdaulat. Tetapi orang tidak boleh memikirkan takdir sedemikian rupa
sehingga Allah ditempatkan sebagai penguasa lalim yang semena-mena menetapkan
nasib (fatum, Latin) seseorang – fatalisme. Orang seperti itu tidak memahami
keseluruhan sifat-sifat Allah. Penafsiran seperti itu sungguh amat naif dan
menyesatkan banyak orang. Allah harus dilihat dari seluruh sudut pandang yang
diperkenankan oleh Alkitab. Untuk itulah Alkitab ada dan Kejadian 1:1 ini baru
merupakan awal perkenalan tentang Allah.
Masih ada pemahaman-pemahaman lain lagi dengan kata
‘mencipta’ dan ‘langit dan bumi’. Tetapi karena uraian ini lebih tertuju pada
pengungkapan tentang Allah, maka pemahaman yang berkaitan dengan kata-kata
tersebut belum perlu diuraikan disini.
Pernyataan Alkitab tentang ‘pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi’, ternyata merupakan pernyataan tegas dari Allah untuk
menihilkan isme-isme filosofies yang membinasakan umat manusia, misalnya:
a. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’; menihilkan
fatalisme. Paham fatalisme ini meyakini bahwa nasib manusia itu ditentukan oleh
penentuan yang ada diluar dirinya sendiri, tanpa ia dapat mengubahnya lagi.
(Catatan: Apa bedanya dengan paham Predestinasi dalam Calvinisme?). Penentuan
nasib manusia menurut fatalisme itu datang dari kekuatan alam semesta itu
sendiri.
Dengan adanya Kejadian 1:1 ini, paham fatalisme itu
dinihilkan. Alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Jadi bukan alam semesta
yang menentukan nasib manusia. Juga Allah pencipta alam semesta ini adalah
Allah yang penuh kasih, 2 Petrus 3:9. Didalam Allah tidak ada bentuk fatalisme.
b. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’;
menihilkan paham evolusi. Paham evolusi ini menyakini bahwa terjadinya mahluk
hidup itu merupakan suatu kebetulan dalam alam semesta, sehingga tercipta satu
sel hidup. Sel hidup tersebut kemudian berevolusi pada tingkat yang lebih
tinggi. Muncullah species-species mahluk hidup. Species akhirnya adalah
manusia.
Dengan adanya Kejadian 1:1 ini, paham evolusi itu
dinihilkan. Allahlah yang menciptakan mahluk hidup itu. Mahluk hidup ciptaan
itu adalah mahluk hidup yang sempurna menurut speciesnya masing-masing.
c. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’;
menihilkan pantheisme. Pantheisme ini mengidentikkan Allah dengan alam.
Sedangkan Kejadian 1:1 menegaskan bahwa alam ini adalah ciptaan Allah. Jadi
alam ini bukanlah Allah.
d. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’;
menihilkan materialisme. Kejadian 1:1 ini hanya dapat diterima dengan iman,
bukan ratio. Mengapa? Karena ratio manusia itu amat terbatas, sesuai dengan
keterbatasan substansi manusia itu sendiri. Catatan: Deisme nanti akan
disangkal Alkitab dalam Kejadian pasal 2.
2.7. Kesimpulan. Awal pernyataan Allah tentang diriNya
sendiri dalam Kejadian 1:1 ini sungguh-sungguh merupakan dasar utama pengenalan
akan Allah yang benar itu. Beberapa kesimpulan penting dari Kejadian 1:1 ini,
antara lain:
a. Allah memperkenalkan diriNya secara bertahap dan
progresif kepada manusia.
b. Allah itu maha kuasa. Kemaha-kuasaan itu nyata dengan tegas ketika Ia mencipta. Allah dengan kemaha-kuasaanNya itu adalah Sang Pencipta, Khalik.
c. Kata ‘Allah’ itu sendiri tak dapat menampung keseluruhan idea dari kata ELOHIM di dalamnya.
d. Allah itu unik – tidak ada duanya – tidak ada persamaannya.
e. Allah itu sudah ada sebelum ada waktu.
f. Allah itu berdaulat penuh. Di dalam Allah-lah segala takdir itu berawal. Tetapi kedaulatanNya itu tidaklah menyuburkan fatalisme, sebab sifat-sifat utama lainnya dari Allah masih belum dibicarakan dan Kejadian 1:1 itu barulah awal perkenalan.
g. Allahnya Alkitab itu sungguh-sungguh menihilkan segala macam isme filosofis manusia yang mencoba menentangNya.
h. Allahnya Alkitab itu hanya dapat dipahami lewat iman.
b. Allah itu maha kuasa. Kemaha-kuasaan itu nyata dengan tegas ketika Ia mencipta. Allah dengan kemaha-kuasaanNya itu adalah Sang Pencipta, Khalik.
c. Kata ‘Allah’ itu sendiri tak dapat menampung keseluruhan idea dari kata ELOHIM di dalamnya.
d. Allah itu unik – tidak ada duanya – tidak ada persamaannya.
e. Allah itu sudah ada sebelum ada waktu.
f. Allah itu berdaulat penuh. Di dalam Allah-lah segala takdir itu berawal. Tetapi kedaulatanNya itu tidaklah menyuburkan fatalisme, sebab sifat-sifat utama lainnya dari Allah masih belum dibicarakan dan Kejadian 1:1 itu barulah awal perkenalan.
g. Allahnya Alkitab itu sungguh-sungguh menihilkan segala macam isme filosofis manusia yang mencoba menentangNya.
h. Allahnya Alkitab itu hanya dapat dipahami lewat iman.
3. Hakekat Allah – Ada. Keberadaan atau eksistensi Allah
sudah dibicarakan, bahkan Allah sendiri sudah mulai menyatakan diriNya kepada
manusia. Kini muncul pernyataan, bagaimanakah sebenarnya sifat hakekat atau
substansi Allah itu? Kalau eksistensinya saja sudah merupakan suatu pergumulan
iman dan butuh penegasan Allah sendiri, apalagi manusia akan membicarakan
hakekat atau substansiNya. Untuk memahaminya, maka Allah sendirilah yang
mempersiapkan segala sesuatu dan memberi informasi yang cukup bagi manusia
untuk mengenal siapa ia sebenarnya.
3.1. Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya,
Kejadian 1:1-2:3. Sangat jelas bahwa dengan kedaulatan dan kemaha-kuasaan-Nya,
Allah menciptakan langit dan bumi. Dari ayat-ayat ini jelas bahwa dalam kisah
pertama penciptaan itu hanyalah ‘kata atau nama Allah’ yang disebut-sebut
sebagai pencipta. Bahkan tiga puluh lima kali kata ELOHIM itu disebut-sebut
dalam ayat-ayat ini.
3.2. Allah mulai memperkenalkan ‘pribadiNya kepada manusia,
Kejadian 2:4. Ayat ini membuka sebuah tahap baru untuk mengenal Allah lebih
baik lagi. Ternyata ayat ini mengungkapkan bahwa yang menciptakan langit dan
bumi itu adalah TUHAN ALLAH – YEHOVA ELOHIM (berkembang dari istilah ALLAH –
ELOHIM, Kejadian 1:1-2:3, menjadi istilah TUHAN ALLAH – YEHOVA ELOHIM).
Penjelasan awal dari perkembangan istilah dalam ayat ini
yakni: Didalam sifat kedaulatan dan kemaha-kuasaanNya itu, Allah mulai
memperkenalkan pribadiNya, yakni TUHAN – YEHOVA. Tahap baru memperkenalkan
diriNya itu adalah untuk memulai memperkenalkan ‘pribadi’Nya kepada manusia.
3.3 Pribadi Allah dalam hubungannya dengan manusia, dikenal
dengan nama: TUHAN, Kejadian 2:4-3:24. Karena manusia ‘mahkota ciptaan’ Nya
sendiri, maka Allah memperkenalkan pribadiNya. Jadi pribadi Allah itu
diperkenalkan dalam hubungan Allah yang khusus dengan manusia. Keberadaan –
eksistensi Allah dapat dikenal secara umum lewat wahyu umum, tetapi pribadi
Allah hanya dapat dikenal khusus dalam hubunganNya dengan manusia, lewat wahyu
khusus. Dalam pribadi Allah itulah manusia dapat memahami hakekat atau
substansiNya.
Perkenalan pribadiNya kepada manusia juga secara bertahap.
Eksposisi Kejadian 2:4-3:24 menggambarkannya:
Kejadian 2:4; Allah mulai memperkenalkan bahwa dibalik
kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya, ternyata ada pribadi Illahi yang namaNya: TUHAN.
Terdapat kesan bahwa istilah Allah itu menunjuk pada lembaga Illahi. Sedangkan
istilah TUHAN itu menunjuk pada nama pribadi. Jadi istilah gabungan TUHAN ALLAH
itu menunjuk pada ‘lembaga Illahi yang berpribadi’.
Kejadian 2:4-7; Walaupun ada kesan bahwa cerita penciptaan
dalam pasal satu diulangi lagi disini, tetapi jelas bahwa fokusnya hanya kepada
manusia itu sendiri. Kalau penciptaan manusia dalam pasal satu itu bersifat
umum dalam suatu kerangka universal, dalam pasal dua ini dijelaskan secara khusus
hubungan istimewa manusia itu dengan TUHAN Allah. Hubungan istimewa itu adalah
‘neshamah – nafas hidup – roh manusia’, Kejadian 2:7, yang sebenarnya berasal
dari TUHAN Allah. Sebelum manusia diciptakan, TUHAN Allah mempersiapkan suatu
kehidupan alamiah bagi manusia.
Kejadian 2:8-9; TUHAN Allah mempersiapkan dan menempatkan
manusia pada tempat khusus – Eden – supaya manusia dapat hidup dengan baik.
Kejadian 2:10-14; TUHAN Allah memberi segala faslitas kepada manusia.
Kejadian 1:15-17; TUHAN Allah memberi tugas dan hukum kepada manusia.
Kejadian 2:18; TUHAN Allah merencanakan secara istimewa teman hidup bagi manusia.
Kejadian 2:19-20; TUHAN Allah mendidik manusia memahami arti kehidupan dan menjadi dewasa.
Kejadian 2:21-22; TUHAN Allah mewujudkan rencana istimewaNya itu bagi manusia, yakni menciptakan isteri baginya.
Kejadian 2:23-25; Manusia memahaminya dan hidup menurut rencana istimewa TUHAN Allah itu.
Kejadian 3:1-24; TUHAN Allah menyiapkan rencana keselamatan bagi manusia yang jatuh ke dalam dosa.
Kejadian 2:10-14; TUHAN Allah memberi segala faslitas kepada manusia.
Kejadian 1:15-17; TUHAN Allah memberi tugas dan hukum kepada manusia.
Kejadian 2:18; TUHAN Allah merencanakan secara istimewa teman hidup bagi manusia.
Kejadian 2:19-20; TUHAN Allah mendidik manusia memahami arti kehidupan dan menjadi dewasa.
Kejadian 2:21-22; TUHAN Allah mewujudkan rencana istimewaNya itu bagi manusia, yakni menciptakan isteri baginya.
Kejadian 2:23-25; Manusia memahaminya dan hidup menurut rencana istimewa TUHAN Allah itu.
Kejadian 3:1-24; TUHAN Allah menyiapkan rencana keselamatan bagi manusia yang jatuh ke dalam dosa.
Catatan: Ternyata ayat-ayat ini menihilkan keyakinan
‘Deisme’ itu. Allah tidak sekedar mencipta lalu meninggalkan ciptaanNya itu
untuk berproses sendiri. Allah hadir dan aktif berperan dalam alam ciptaanNya;
lebih khusus lagi, dalam menyelamatkan umat manusia. Jadi, dengan pengungkapan
pribadi Allah melalui pernyataan Nama ‘TUHAN Allah’. Deisme itu dinihilkan.
Jadi jelas sekali bahwa dalam hubungannya yang khusus
dengan manusia, Allah memperkenalkan pribadiNya dengan sebutan atau nama: TUHAN
– YEHOVAH. Hal ini lebih terbuka lagi setelah mempelajari seluruh kitab
Perjanjian Lama itu. Istilah Allah – ELOHIM hanya disebut 3.000-an kali,
sedangkan istilah TUHAN – YEHOVAH disebut 6.823 kali dalam Kitab Perjanjian
Lama itu. PribadiNyalah yang dikedepankan, bukan lembaga.
3.4 Hakekat TUHAN Allah itu, ‘ADA’ yang kekal, Keluaran
3:14-15. Ketika Allah menyuruh Musa pergi ke Mesir untuk melepaskan orang
Israel dari cengkeraman kekuasaan Firaun, Musa menanyakan nama pribadi Allah
yang menyuruhNya, Keluaran 3:13. Pertanyaan itu penting, sebab allah-allah
Mesir, dari yang rendah sampai yang tertinggi, mempunyai nama. Allah
menjelaskan kepada Musa bahwa namaNya dalam bahasa Ibrani ditulis: EHEYEH ASHER
EHEYEH, yang dipendekkan menjadi EHEYEH. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan
dengan I AM THAT (WHO OR WHAT) I AM, dipendekkan menjadi I AM. Dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan AKU ADA YANG AKU ADA, dipendekkan menjadi AKU ADA. Dari
sinilah kata Ibrani YAHWEH atau YEHOVAH itu berakar.
Kata-kata ini berarti: Aku adalah Dia yang Ada dengan
sendirinya; Dia yang kekal; Dia yang senantiasa ada dan senantiasa akan ada.
Kata-kata yang dipendekkan menjadi AKU ADA itu berarti: Dia yang senantiasa ada
dan hidup. Nama ini sama artinya dengan ‘YEHOVAH Yang Kekal’.
3.5 Dibandingkan dengan ‘ada’nya umat manusia, Yesaya
40:6-8. Dibandingkan dengan ‘ada’nya Allah, maka eksistensi manusia hanya
diumpamakan seperti rumput. Dengan kata lain, TUHAN Yang Kekal itu tidak dapat
dibandingkan dengan eksistensi umat manusia yang fana itu.
3.6 Dibandingkan dengan ‘ada’nya alam semesta. Eksistensi
alam semestapun tidak sebanding dengan ‘ada’nya TUHAN Allah . Alkitab memberi
kesaksian, bahwa: Kejadian 1:1; TUHAN Allah yang menciptakan langit dan bumi
(universe – alam semesta) ini.
2 Petrus 3:7; TUHAN Allah yang memelihara langit dan bumi
ini. Matius 24:35; 2 Petrus 3:10-13; TUHAN Allah akan membinasakan langit dan
bumi ini; dan kemudian menciptakan langit dan bumi baru. Dengan kata lain,
eksistensi alam semesta ini tidak kekal seperti ‘ada’nya TUHAN Allah.
3.7 Kesimpulan. Sebenarnya, berbicara tentang hakekat
adalah berbicara tentang isi filsafat, yakni bidang metafisika. Tetapi hakekat
Allah itu tidak dapat dipahami oleh kemampuan manusia menganalisa sekedar
informasi wahyu umum untuk mencari epistemologinya. Pengetahuan tentang Allah
yang menjadi ukuran kebenaran hanyalah didapat dari informasi wahyu khusus itu.
Sekali lagi, bukan oleh kesanggupan manusia menganalisa wahyu umum. Sehigga
nampak jelas bahwa hakekat Allah itu tidak dapat dipahami secara filosofis
melalui metafisikanya. Hanya Alkitablah yang memberi informasi tentang hakekat
Allah itu.
‘Pengkotbah’, orang berhikmat yang mencari hakekat
kehidupan, menulis: “Apa yang ada, itu jauh dan dalam, sangat dalam, siapa yang
dapat menemukannya?”, Pengkotbah 7:24. Kata ‘ada’ disini menunjuk pada akar
kata yang sama dengan ‘ada’ dalam Keluaran 3:14.
Jadi, menurut Alkitab, hakekat TUHAN Allah adalah ‘ADA’.
Sifat ‘ADA’nya TUHAN Allah itu jauh berada diluar jangkauan analisa filosofis
manusia, yakni:
a. ADA – yang essensial, hakiki, substansi.
b. ADA – karena diri-Nya sendiri, bukan diadakan, self existent, Wahyu 16:5.
c. ADA – penyebab segala yang ada – cause prima, Roma 11:36.
d. ADA – Maha Ada, melebihi konsep manusia tentang ruang, Mazmur 139:5-12.
e. ADA – tidak terbatas, tidak berubah, kekal, Yakobus 1:17; Maleakhi 3:6; 2 Timotius 2:13.
f. ADA – melampaui konsep waktu akibat dosa, Keluaran 3:14; Ibrani 13:8; Wahyu 1:17; kekal.
g. ADA – kehidupan kekal; sumber kehidupan, Kisah Para Rasul 17:25, 28; Ayub 34:14-15.
h. ADA – suatu pribadi; Maha Pribadi.
b. ADA – karena diri-Nya sendiri, bukan diadakan, self existent, Wahyu 16:5.
c. ADA – penyebab segala yang ada – cause prima, Roma 11:36.
d. ADA – Maha Ada, melebihi konsep manusia tentang ruang, Mazmur 139:5-12.
e. ADA – tidak terbatas, tidak berubah, kekal, Yakobus 1:17; Maleakhi 3:6; 2 Timotius 2:13.
f. ADA – melampaui konsep waktu akibat dosa, Keluaran 3:14; Ibrani 13:8; Wahyu 1:17; kekal.
g. ADA – kehidupan kekal; sumber kehidupan, Kisah Para Rasul 17:25, 28; Ayub 34:14-15.
h. ADA – suatu pribadi; Maha Pribadi.
i. ADA – creatio ex nihilo; sifat penciptaan Allah,
Kejadian pasal satu – mencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Pandangan
filosofi manusia adalah ex nihilo fit – dari ketiadaan, tidak ada sesuatu yang
jadi – from nothing, nothing comes. Tetapi mustahil bagi manusia, bagi Allah
tidak mustahil. Dari hakekatNya sendiri, Allah mencipta sesuatu dari yang nihil
menjadi ada! Kejadian pasal satu.
BAB III: PRIBADI ALLAH
Allah yang berpribadi merupakan pernyataan agung Ilahi,
sehingga manusia tidak hanya mengenal Allah dalam bentuk kelembagaan yang
biasanya kaku, tetapi mengenalNya secara pribadi. Sebenarnya istilah ‘pribadi’
atau ‘oknum’ atau ‘person’ mengandung arti keadaan orang-perorangan yang dapat
dilihat dari seluruh sifat yang merupakan watak orang tersebut. Dengan istilah
‘pribadi’ ini, kita dapat mengenal seseorang lebih baik dan lebih dalam lagi.
Jadi, Allah sebagai pribadi adalah Allah yang menyatakan diriNya dalam seluruh
sifatNya, sehingga manusia mengenal siapa Dia.
1. Lembaga ke-Allahan dan Pribadi Allah. Istilah ‘Allah’
adalah istilah umum diseluruh dunia, walaupun dalam bentuk kata yang berbeda:
EL (Ibrani); THEOS (Grika); DEUS (Latin); GOD (Inggris); ALLAH; DEWA; (di
Minahasa dikenal dengan istilah ‘OPO’), dan lain-lain. Istilah Allah sebenarnya
menunjuk pada suatu pengertian tentang ‘lembaga’, yang mempunyai otoritas
mutlak atas seluruh alam semesta, dan kepadanya manusia menyembah. Bila dalam
agama-agama polytheisme, lembaga ke-Allahan itu memiliki begitu banyak allah.
Allah-allah ini masing-masing dengan sifat dan perannya sendiri-sendiri. Ada
allah yang khusus mengurus kematian – dewa maut. Ada allah yang khusus mengurus
hujan – dewa hujan, dan sederetan tugas serta sifat ataupun peran. Tetapi Allah-nya
Alkitab adalah suatu pribadi (Maha Pribadi) Yang Esa. Maha Pribadi itu memiliki
seluruh sifat Ilahi yang ada. Jadi dalam lembaga ke-Allahan itu berdiam pribadi
Yang Esa dengan seluruh sifat Ilahi.
Lembaga manusia dapat terpisah dari pribadi manusia itu
pada saat ia mati. Tetapi lembaga ke-Allahan menurut Alkitab itu tidak dapat
dipisahkan dari Pribadi Allah, karena Allah itu hidup, dalam arti hidup kekal.
2. Allah itu berpribadi. Menarik sekaligus rumit, bila kita
menyimak berbagai pandangan yang berkembang sejak Gereja mula-mula tentang
pribadi Allah. Pribadi atau oknum atau Hypotasis (Grika) atau Persona (Latin).
Bagaimana bentuknya berbagai nuansa pandangan mereka itu tidak akan dibicarakan
dalam bagian ini. Tetapi yang terutama dibuktikan dulu dari Alkitab yakni bahwa
Allah itu berpribadi. Bukti-bukti Allah berpribadi yakni antara lain:
2.1 Sebagai Pribadi; Allah memperkenalkan NamaNya. Ada
bagian tersendiri membicarakan Nama Allah secara luas dan mendalam. Allah
Alkitab memperkenalkan NamaNya, Keluaran 3:14; 6:1-2. Nama itu jelas menunjuk
pada pribadi.
2.2 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan pikiranNya,
Mazmur 139:17; Yesaya 40:13; 50:9; Zakharia 1:6; 8:14-15; Kisah Para Rasul
15:18; 1 Korintus 2:11, 16. Hasil berpikir adalah maksud, niat atau rencana.
Jelas, Alkitab berisi pikiran dalam bentuk rencana agung Allah untuk
keselamatan dan kesejahteraan manusia. Hanya orang-orang rohanilah yang
memahami rencana Allah itu.
2.3 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan emosi atau
perasaanNya. Bentuk-bentuk perasaan itu amat, seperti: Kejadian 6:6, menyesal;
Keluaran 20:5; Ulangan 6:15, cemburu; Ulangan 1:37; 4:21; 9:8; 2 Raja-raja
17:18, murka; Mazmur 45:8; Ibrani 1:9, mencintai atau membenci, dan lain-lain.
2.4 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan kehendak atau
keinginanNya. Kehendak atau keinginan Allah itu begitu jelas dalam Alkitab
Yosua 3:10, Allah sungguh-sungguh menepati janji-Nya. Mazmur 115:3, Allah
melakukan apa kehendakNya. 2 Petrus 3:9, Allah tidak suka seorangpun binasa.
3. Keadaan dasar (nature) pribadi Allah. Keadaan dasar
manusia itu antara lain: lemah, tidak sempurna dan seterusnya. Alkitab
menyimpulkan bahwa keadaan dasar manusia adalah ‘daging’. Dengan demikian kita
mengenal siapa manusia itu. Demikian juga dengan Allah jelas dari uraian diatas
bahwa Allah itu berpribadi, tetapi pribadi itu amat luar biasa bila keadaan
dasar (nature) dan sifat-sifat (attributes)Nya dapat dipelajari. Tidak ada kata
yang tepat untuk mengungkapkan keadaan pribadi itu selain menegaskan bahwa
pribadi itu sungguh-sungguh melampaui kesanggupan daya analisa manusia,
sehingga hanya cocok disebut dengan ‘Maha Pribadi’. Dengan tepat Paulus mulai
memberi gambaran kepada orang-orang kafir, bahwa: “. . . kita tidak boleh berpikir,
bahwa keadaan Ilahi sama seperti emas atau perak atau batu ciptaan kesenian dan
keahlian manusia”, Kisah Para Rasul 17:29.
TEMPAT WISATA PANCURAN 7 BATURRADDEN |