Kamis, 31 Juli 2014

DOKTRIN ALLAH
BAB I: ADANYA ALLAH.
Sebelum Alkitab diwahyukan atau sebelum Firman Allah itu diberitakan, manusia oleh akal budinya sebenarnya menyadari adanya Allah. Manusia menyadari adanya Allah karena ia adalah mahluk satu-satunya di bumi ini yang memiliki roh didalam dirinya. Kesadaran akan adanya Allah itu belum dalam bentuk baku, teratur dan sistematis. Juga pembuktian akan adanya Allah itu pada mulanya bersifat tidak langsung dari wahyu umum.
1. Adanya Allah menurut manusia itu pertama-tama disimpulkan dari wahyu umum. Alam semesta ciptaan Allah itu sebenarnya amat luar biasa. Tanpa terasa oleh manusia, alam semesta itu ternyata bergerak dan digerakkan oleh suatu kekuatan yang teratur, harmonis dan akurat, yang membentuk hukum alam yang maha luas. Sampai sekarangpun manusia masih mengira-ngira luas dan besarnya jangkauan hukum tersebut. Alam semesta inilah yang sebenarnya merupakan pernyataan Allah secara umum tentang adanya Dia; sehingga dikenal dalam dunia theologia dengan istilah wahyu umum, “General Revelation”, Roma 1:19-20; Mazmur 19:2. Manusia sejak zaman purbakala sudah mengenal serta mengalami bagian kecil dari kekuatan hukum alam itu. Hujan, panas matahari, angin, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan lain-lain, merupakan gejala alam dalam percikan kekuatannya yang tak dapat ditandingi oleh manusia itu sendiri. Dari sinilah awal mula manusia mulai menyadari adanya informasi dari luar dirinya tentang adanya Allah, walaupun masih sederhana dan bersifat umum sekali.
1.1 Manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mengenal Allah yang benar. Walaupun dalam rohnya, manusia menyadari adanya Allah, tetapi tanpa pertolongan informasi dari luar dirinya sendiri, ia tidak akan mampu memahami secara akali tentang Allah yang benar itu, 1 Yohanes 5:20. Hal itu disebabkan karena :
a. Dosa manusia itu yang memisahkannya dari Allah. Oleh dosa, semua manusia sudah kurang kemuliaan dari Allah, Roma 3:23. Terjadi ketidak seimbangan dalam roh, jiwa dan tubuh manusia. Itulah sebabnya manusia duniawi (manusia yang belum dijamah oleh pekerjaan Firman dan Roh Kudus), tidak dapat mengenal Allah yang benar karena tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, 1 Korintus 2:14.
b. Adanya perbedaan substansial manusia dan Allah, Yesaya 55:9. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, perbedaan substansial itu ternganga menjadi jurang yang tak terseberangi. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
Manusia: Allah:
Kelihatan Tidak kelihatan
Fana Kekal
Terbatas Tidak terbatas
Dengan perbedaan yang hakiki ini, tanpa bantuan informasi dari luar dirinya, manusia itu sendiri tidak akan sanggup memahami Allah yang benar itu.
c. Setan berusaha mengikis habis informasi yang benar tentang Allah. Setan tahu bahwa waktu penghukuman baginya sudah dekat. Wahyu 12:12. Yesus sendiri memberi perumpamaan bagaimana giatnya setan berusaha mengikis habis benih yang benar tentang Allah, Matius 13:19cf.
d. Pengalaman manusia itu sendiri. Alkitab mencatat, bahwa Kain itu bukanlah orang yang tidak mengenal Allah. Kejadian 4:3. Tetapi oleh kekerasan hatinya ia memilih jalannya sendiri dan makin jauh dari Allah, Kejadian 4:16; Yudas 1:11. Keturunannya menjadi orang-orang yang tak mengenal Allah. Keturunan Nuh pun mempunyai pengalaman yang serupa. Hal itu terjadi berulang-ulang dalam sejarah. Memang kedagingan manusia, mencondongkan manusia kepada dosa, Kejadian 6:5; Roma 7:22-23cf, yang makin menjauhkan manusia dari pengenalan akan Allah.
1.2. Pertama-tama Allah menyatakan keberadaanNya kepada manusia lewat wahyu umum. Sudah jelas bahwa bumi adalah sebagian kecil dari alam semesta ciptaan Allah. Sedangkan bumi dengan segala isi ciptaan itu diadakan bagi tempat kediaman manusia, Kejadian 2:4-7; Mazmur 115:16; Yesaya 45:18. Tujuan semuanya ini supaya manusia mengenal Allah, memuliakanNya, dan bersyukur kepadaNya, Roma 1:21. Sebenarnya hal utama yang dapat dipelajari manusia dari alam semesta ini adalah kekuatan, kebesaran, kekekalan dan harmoninya hukum alam. Semua kebijaksanaan itu secara tidak langsung kelak membawa manusia kepada perancang bahkan sumber dari segala sesuatu: “Sang Pencipta”.
1.3. Akibat negatif bila wahyu umum tidak dilengkapi dengan wahyu khusus. Sejarah mencatat bahwa dari merenungkan kekuatan, kebesaran, kekekalan dan harmoninya hukum alam, para orang bijak zaman purba mencari Allah didalamnya. Dari hasil pemikiran jenius mereka, dirumuskanlah kesimpulan-kesimpulan tentang Allah. Inilah cikal-bakal agama-agama dunia; agama-agama alam; natural religion. Allah bagi mereka digambarkan sesuai dengan jalan pikiran mereka, sehingga muncullah berbagai ragam allah-allah.
Wahyu khusus – special revelation, adalah Alkitab yang diilhamkan Allah. Dalam Alkitablah Allah yang benar itu dinyatakan. Bila wahyu umum tidak dilengkapi oleh wahyu khusus, maka akibat negatifnya yakni manusia tidak dapat menemukan Allah yang benar. Hal itu terbukti dari begitu banyaknya agama atau aliran kepercayaan manusia di dunia ini.
2. Adanya Allah itu tidak mampu disangkal oleh manusia. Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20. Walaupun manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mengenal Allah yang benar, bahkan akhirnya banyak orang yang menyangkal keberadaan Allah, tetapi manusia hanya dapat berargumentasi dengan dirinya sendiri. Adanya Allah yang tercermin dalam wahyu umum itu tidak dapat disangkal oleh manusia. Berbagai kesaksian dari luar manusia memberi gambaran adanya Allah, Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20.
3. Adanya Allah dalam argumentasi. Suatu kewajiban orang percaya untuk memberi jawaban kepada siapa saja tentang imannya, 1 Petrus 3:15. Kewajiban kita untuk berapologia dengan memberi argumentasi bahwa Allah ada:
3.1 Argumentasi Kosmologis. Kata ‘kosmos’ itu berarti ‘dunia’; dan dapat juga berarti ‘alam semesta – universe’. Argumentasi kosmologis itu menunjuk kepada alam semesta, kemudian berupaya membuktikannya dari hukum sebab akibat. Keberadaan dari akibat itu senantiasa menunjuk pada keberadaan dari sebabnya. Alam semesta itu ternyata bergerak dan digerakkan oleh suatu kekuatan yang teratur, harmonis dan akurat, yang membentuk suatu hukum alam yang maha luas dan dahsyat.
Bila alam semesta yang digambarkan tadi adalah akibatnya, menjadi pertanyaan: ‘Apa’ atau lebih tepat ‘siapakah’ penyebab dari semua ini? Manusia memang tidak dapat menjawab pertanyaan besar ini. Berbagai hypothesa telah diteorikan oleh para ahli astronomi dan ilmu pengetahuan alam, tetapi semuanya tidak memuaskan. Alamlah sendiri yang menjadi saksi bahwa penyebab awal – causa prima dari semua ini adalah Allah, Sang Pencipta itu, Kejadian 1:1; Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20; Ibrani 11:3.
3.2 Argumentasi Teleologis. Argumentasi ini adalah pembuktian dari bentuk dan tujuan. Tidak sekedar bahwa alam semesta itu ada, tetapi alam semesta dan isinya itu mempunyai bentuk sempurna dan mempunyai fungsi tertentu, sesuai peran penciptaannya. Masing-masing ciptaan yang tak terhitung jumlah dan jenisnya dalam alam ini menunjuk pada maksud penciptaannya dan masing-masing mempunyai peran tertentu, bahkan kesemua ciptaan itu ada dalam harmoni satu dengan yang lain.
Alam semesta – Bima Sakti – Melky Way System diciptakan sedemikian rupa, sehingga tata surya kita merupakan satu dari sekian juta tata surya yang ada dalam sistem alam semesta ini. Kemudian bumi ini merupakan planet teristimewa dalam susunan tata surya kita. Sedangkan planet bumi ini diciptakan sedemikian rupa, dilindungi oleh sistem perlindungan sedemikian rupa, diisi oleh tak terbilang jenis ciptaan dalam kontrol hukum yang harmoni satu dengan lainnya; sehingga manusia dapat hidup di dalamnya.
Menjadi pertanyaan: Siapakah yang merancang segala sesuatu ini dengan sempurna? Apakah sebenarnya tujuan penciptaan segala sesuatu ini? Dapatkah manusia mengukur intelegensia dari sang perancang semua ini? Argumentasi dari bentuk dan tujuan adanya ‘suatu’ yang jauh melebihi inteligensia manusia, Yesaya 55:8-9, bahkan tanpa batas, yang lebih besar dari alam semesta, 2 Tawarikh 6:18.
3.3 Argumentasi Antropologis. Kata’anthropos’ dalam bahasa Grika berarti ‘manusia’. Dari keberadaan manusia itu sendiri argumentasi ini bertitik tolak. Manusia adalah ‘master piece’ dari tindakan penciptaan Allah. Manusia yang diciptakan dalam gambar Allah menjadi mahkota kemuliaan dari segala ciptaan, Kejadian 1:1-28; Mazmur 94:9. Manusia jauh lebih berkuasa dari pada gabungan seluruh binatang ciptaan. Seekor monyet yang paling sempurna tidak dapat dibandingkan dengan manusia dalam keseluruhan keberadaannya. Teori evolusi sebenarnya adalah usaha untuk melepaskan manusia dari kelayakan dan pertanggung-jawaban kepenciptaan bagi dirinya. Manusia yang cerdas adalah salah satu argumen terbesar bagi adanya Allah yang cerdas pula. Bermilyard-milyard umat manusia, masing-masing berbeda dan unik, pun semua dasar kepenciptaan mereka, membuktikan adanya seorang pencipta.
3.4 Argumentasi Ontologis. Ontologi adalah bagian dari isi filsafat yang mempelajari tentang keberadaan yang hakiki dari sesuatu. Ontologi datang dari kata Grika ‘ontos’ yang berarti ‘yang sedang berada’. Argumentasi ontologis dihubungkan dengan argumentasi anthropologis, yakni yang membicarakan keberadaan hakiki dari manusia itu.
Manusia bukan hanya sekedar ciptaan yang cerdas belaka, ia juga adalah mahluk yang secara intuitif percaya dan mengetahui akan adanya Allah. Intuisi berbicara tentang pemahaman atau pengetahuan dimana manusia memilikinya tanpa proses berpikir. Manusia mengetahui secara intuitif bahwa ada Allah. Ia dilahirkan dengan pengetahuan ini di dalam dirinya. Kadang-kadang hal ini disebut sebagai agama instink di dalam manusia, yang membuatnya ingin menyembah sesuatu atau seseorang. Manusia diciptakan untuk menjadi seorang penyembah untuk menyembah Allah. Manusia tidak akan ingin menyembah Allah bila Allah tidak menaruh di dalam manusia itu pengetahuan intuitif tentang keberadaanNya sendiri.
Argumentasi menjadi hakiki oleh fakta adanya suatu keyakinan universal pada ‘satu allah’ atau ‘allah-allah’ dalam setiap bangsa pada permukaan bumi ini. Apabila manusia tidak menerima atau mendapatkan Allah yang benar, ia membuat allah/dewa bagi dirinya sendiri untuk disembah, untuk memuaskan pengetahuan instinktifnya itu.
Percaya akan Allah bukan hanya sekedar hasil dari kondisi budaya. Secara ontologis, manusia tercipta dalam roh, jiwa dan tubuh. Dari aspek rohnya inilah muncul secara intuitif kesadaran dan pengetahuan akan adanya Allah, Kisah Para Rasul 17:23-24; Roma 1:18-32; Yohanes 1:3-7; Mazmur 115:1-8.
3.5 Argumentasi Moral. Etika adalah pengetahuan yang mempelajari baik atau buruk perbuatan manusia dilihat dari sistim nilai tertentu. Moral adalah tindakan baik atau buruk manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk moral. Ia memiliki suatu perasaan hakiki tentang baik atau buruk, benar atau salah, sebaik perasaan tentang pertanggung-jawaban untuk mengikuti apa yang benar dan menolak apa yang salah. Alkitab menamainya ‘suara hati – conscience’ dan memandangnya sebagai pemberian Allah.
Apabila manusia melanggar suara hatinya, ia tunduk pada kejahatan dan suatu rasa takut akan penghukuman. Walaupun kata hati itu dapat dikondisikan atau dilatih dengan arahan-arahan berbeda, kata hati itu tetaplah suatu yang umum pada manusia secara inheren. Kata hati itu bersifat universal, dan menjadi saksi tentang keberadaan dari suatu pemberi hukum dan hakim tertinggi, yang menciptakan di dalam manusia rasa pertanggung-jawaban bagi kebenaran ini, Roma 2:14-15; 1 Timotius 4:2; Titus 1:15; Ibrani 9:14; Yohanes 8:9.
3.6 Argumentasi Biologis. Kata Grika ‘bios’ berarti ‘hidup’. Kata ini merupakan suatu fakta ilmiah dimana hidup itu hanya dapat datang dari hidup yang sudah ada sebelumnya, tidak semata-mata dari benda. Hal itu mengusut semua kehidupan kembali kepada sumbernya. Akhirnya kita harus kembali kepada Allah sendiri. Harus ada sesuatu yang menjadi sumber utama kehidupan itu. Asal muasal dari semua kehidupan dan pemilik dari kehidupan asal dan kekal dari Dia sendiri. Sumber kehidupan itu ialah Allah, Mazmur 36:10; Yohanes 11:25; 14:6; 10:28; 1:1-5.
3.7 Argumentasi Historis. Sejarah manusia menunjuk pada satu tangan yang tak kelihatan, yang membimbing, mengatur dan mengawasi nasib bangsa-bangsa. Sebagai contoh, Babylon jatuh pada suatu malam ketika para tentara lupa menutup pintu-pintu pada dinding yang melaluinya air sungai besar Efrat mengalir. Nabi-nabi Allah telah mengatakan ini sebelumnya, lebih seratus tahun sebelum hal ini terjadi, Yesaya 45:1-5; Daniel 5. Suatu penelitian seksama dari sejarah akan mengungkapkan beberapa ilustrasi dari fakta ada tangan Allah yang bergerak untuk menyelesaikan kehendakNya, Wahyu 17:17. Sejarah membuktikan adanya Allah yang mengawasi jalannya sejarah.
3.8 Argumentasi Kristologis. Satu dari argumentasi-argumentasi terbesar adalah argumentasi Kristologis. Kristus yang historis adalah suatu fakta; dan adalah tidak mungkin untuk menggambarkan pribadi dari Yesus Kristus terpisah dari adanya Allah. KelahiranNya dari perawan, kehidupanNya yang tanpa dosa, mujizat-mujizat, pengajaran, kematian, penguburan, kebangkitan dan keangkatanNya ke Surga yang kesemuanya itu tak mungkin dijelaskan terpisah dari Allah. Yesus Kristus adalah wahyu terbesar dari adanya Allah. Semua keberadaanNya, semua perbuatanNya, dan semua yang Ia katakan, membuktikan adanya Allah, Yohanes 1:1-3, 14-18; 14:6-9; 1 Timotius 3:16; Ibrani 1:1-3; 1 Yohanes 1:1-3.
3.9 Argumentasi Bibliologis. Alkitab adalah saksi untuk keberadaan Allah. Dalam penjelasan Doktrin Pewahyuan, Alkitab melampaui semua tulisan lain yang diwahyukan secara ilahi; tidaklah mungkin bagi kitab-kitab itu menjadi sekedar produksi kemanusiaan belaka. Semua kitab itu membuktikan keberadaan dari suatu kecerdasan yang lebih tinggi yang secara berdaulat membimbing para penulis dalam tugas mereka menulis kitab-kitab itu. Sebagai saksi yang tak mungkin keliru dari semua yang Alkitab ungkapkan tentang Allah, sifat dasarNya dan maksud-maksudNya harus diterima seakurat mungkin.
3.10 Argumentasi Keharmonisan. Kata ‘harmoni’ sebenarnya berarti ‘sesuai, seimbang, serasi’. Kesembilan argumentasi yang ada sebelum ini semuanya ada dalam kesesuaian. Ada keseimbangan dan keserasian diantara semua itu. Tidak ada satupun argumentasi yang telah diungkapkan itu membawa suatu pemahaman yang bertentangan, tetapi semua argumentasi itu membentuk suatu keharmonisan secara keseluruhan. Inilah argumentasi dari keharmonisan itu. Fakta bahwa argumentasi Kosmologis, Theologis, Anthropologis, Ontologis, Moral, Biologis, Kristologis dan Bibliologis, semuanya tercampur bersama dalam keharmonisan.
Semuanya itu berbicara tentang adanya Allah dan bila tidak demikian maka semua fakta yang menghubungkannya satu dengan yang lain itu tidak dapat dijelaskan. Percaya kepada keberadaan dari pribadi Allah yang ada dengan sendirinya adalah dalam harmoni dengan semua fakta tentang sifat mental dan moral manusia; sebagaimana juga dengan sifat dari materi alam semesta. Manusia sungguh-sungguh tidak dapat menolak fakta tentang adanya Allah. Hanyalah suatu kedunguan yang disengaja bila orang mau menolak bukti kesimpulan yang ada ini.
4. Kebutuhan intrinsik manusia untuk mengenal Allah yang benar. Menunjuk pada argumentasi anthropologis, ternyata secara umum, didalam hatinya manusia mempunyai suatu kebutuhan untuk mengenal Allah yang benar. Alkitab mencatat bahwa manusia terdiri dari roh, jiwa dan tubuh, Kejadian 2:7; 1 Tesalonika 5:23. Masing-masing bagian manusia itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, tetapi substansi manusia ada pada rohnya, Yohanes 6:63; Yakobus 2:26. Dengan tubuhnya, manusia bereksistensi di dunia ini, menjadi mahluk alamiah, Kejadian 2:7; 1 Korintus 25:44-50; dan mahluk biologis, Kejadian 1:27-28. Jadi, dengan tubuhnya manusia ada kontak dengan alam lingkungannya. Dengan jiwanya, manusia menyadari kemanusiaan dan pribadinya, sehingga dengan demikian ia dapat berkomunikasi dan bersosialisasi dengan mahluk-mahluk lain dalam dunia. Dengan rohnya, manusia menyadari dimensi rohaninya; dan dengan rohnya manusia dapat berkomunikasi dengan dunia roh.
Dengan roh yang menjadi substansi manusia, ternyata manusia itu secara intrinsik butuh pengenalan akan Allah. Sejarah perkembangan budaya membuktikan bahwa semua bangsa di dunia ini mempunyai latar belakang keyakinan terhadap dunia rohani. Tetapi oleh karena dosa, manusia tidak dapat menemukan Allah yang benar; itulah sebabnya manusia menciptakan berhala bagi dirinya sendiri, Roma 1:21-23; Ulangan 4:16-18. Bila manusia tidak puas dengan berhala dan ia merasa mampu atau kuat, ia menjadikan dirinya sendiri berhala. Atheisme modern pada dasarnya adalah upaya manusia menolak keberadaan Allah yang benar dan menjadikan dirinya sendiri allah dalam pikirannya sendiri. Pengkultus-individuan seseorang itu sebenarnya menjadikan seseorang itu idola; apakah ia seorang politikus, artis, musisi dan lain-lain. Orang-orang memuji-muji sang idola itu secara berlebih-lebihan. Alkitab mencatat, berhala itu ditulis dengan kata ‘idol’.
Secara tegas Alkitab memperingati orang-orang percaya: “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala – idol”. Hal itu ditegaskan oleh Alkitab karena kecenderungan manusia, oleh kebutuhan intrinsiknya untuk mengenal Allah yang benar. Bila karena dosa lalu manusia itu tidak dapat menemukan Allah yang benar, ia akan mencari objek lain untuk disembah.
BAB II: ALLAH YANG MEWAHYUKAN DIRI-NYA SENDIRI
Allahlah yang berinisiatif memperkenalkan diriNya sendiri kepada manusia. Ibrani 1:1 jelas menulis bahwa ‘sejak zaman purba Allah berulang kali dan dalam berbagai cara berbicara.” Berbicara langsung, Kejadian 18:1-33; Bilangan 12:8; melalui penglihatan, Yehezkiel 1:1; Bilangan 12:6; Zakaria 1:7-8; Daniel 2:18; lewat mimpi, Daniel 2:1, 24; Matius 1:20; 2:13,19; dengan tanda-tanda ajaib, Keluaran 19:16-19; 20:18, 21; Oleh bimbingan Roh Kudus, Matius 16:17; Kisah Para Rasul 6:10; Juga dalam berbagai penampakan, Kejadian 32:22-30; Hakim 13:1-23; Daniel 5:5. Bahkan Allah sendiri dalam diri Anak Tunggal-Nya menyatakan diri, Ibrani 1:2; I Yohanes 1:1-3; Yohanes 7:16; 12:49.
Kesemua ini ditambah dengan uraian, penjelasan, ungkapan, kejadian penting bagi sejarah dunia, direkam Allah dan diilhamkan kepada para hambaNya, Yesaya 34:16; II Timotius 3:16; dalam bentuk tulisan yang kita kenal dengan istilah Alkitab. Itulah wahyu khusus – special revelation. Beginilah Allah memperkenalkan diriNya sendiri kepada manusia; yakni dengan mewahyukan diriNya sendiri. Bila tidak demikian, tidaklah mungkin manusia mengenal Dia dengan benar.
1. Wahyu khusus adalah untuk mengungkapkan kepada manusia siapakah Allah itu. Firman Allah yang tertulis atau Alkitab itu disebut wahyu khusus, karena melaluinya secara khusus Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia. Cara Allah berbicara kepada manusia yang memakan waktu ribuan tahun itu, tidak akan dapat diikuti manusia yang umur rata-ratanya tidak sampai satu abad itu. Tetapi dengan mengilhamkannya dalam bentuk tulisan, maka manusia dapat mempelajari siapa Allah itu dari informasi tertulis yang lengkap.
1.1 Alkitab sebagai media pengajaran satu-satunya tentang Allah -Theologia proper. Kerinduan manusia untuk mempelajari Allah, melahirkan berbagai spekulasi filosofis, baik yang disampaikan secara lisan maupun secara tertulis; menggambarkan siapa Allah menurut versi mereka masing-masing. Setiap agama dan kepercayaan mempunyai gambaran sendiri-sendiri tentang Allah, tetapi hanya merupakan upaya menusia memahami secara tidak langsung lewat wahyu umum.
Tetapi untuk mempelajari Allah yang benar itu, hanyalah Alkitab sumber satu-satunya yang benar dan dapat dipercaya. Karena Alkitab itu diwahyukan Allah kepada manusia untuk menjadi media pengajaran formal satu-satunya tentang Allah. Alkitab dalam Firman Allah dan Firman Allah itu adalah kebenaran – the truth, Yohanes 17:17. Itulah sebabnya pengetahuan tentang Allah dengan dasar satu-satunya sumber informasi – Alkitab – disebut theologia proper, secara harafiah berarti: pengetahuan tentang Allah yang sebenar-benarnya.
1.2 Alkitab yang diwahyukan dijamin benar dan menjadi jaminan. Sebagai satu-satunya sumber yang benar dan dapat dipercaya dalam mempelajari pengetahuan tentang Allah, ada dua sifat azasi Alkitab yang perlu dijelaskan secara singkat, sebagai dasar pengajaran, yakni:
a. Alkitab itu tidak pernah salah (inerrancy). Sifat pewahyuan Alkitab itu dibuktikan dari keadaan Alkitab itu sendiri yang tidak pernah salah. Dari berbagai kesaksian dari para penyelidik Alkitab ini, selalu dibuktikan kebenarannya. Sebagai contoh: Tidak satupun tempat yang disebut dalam Alkitab lalu tidak dapat dibuktikan oleh ilmu purbakala. Sifat-sifat alam yang ditulis Alkitab; angin, arus laut, musim, flora, fauna dan seterusnya, semuanya benar. Informasi sejarah begitu akurat. Apalagi informasi tentang sifat manusia dan kemanusiannya, semuanya tepat.
Ada beberapa hal yang sukar dipahami dalam Alkitab, tetapi hal itu karena keterbatasan manusia itu sendiri untuk memahaminya dan satu demi satu mulai terungkap. Ada beberapa hal yang belum terbukti; hal itupun karena Alkitab bersifat nubuatan dan hal-hal itu mulai tergenapi satu demi satu. Ada halangan-halangan lain yang berupa kesulitan penerjemahan bahasa; hal itupun dapat teratasi satu demi satu oleh para ahli yang dibimbing oleh Roh Kudus.
Alkitab itu tidak pernah salah (inerrancy); dijamin benar untuk menjadi sumber satu-satunya bagi mereka yang mau belajar mengenal Allah yang benar.
b. Alkitab itu otoritas tertinggi (sola scriptura). Ada banyak pandangan, penafsiran atau ajaran tentang Allah; tetapi semuanya harus dirujukkan kebenarannya dengan Alkitab. Sebab Alkitablah yang menjadi ukuran satu-satunya sehingga menjadi otoritas tertinggi. Apa saja pendapat, pandangan, penafsiran ataupun ajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab, harus ditolak. Hal itu prinsipil, supaya manusia tidak tersesat.
Tuhan Yesus menjadikan Alkitab sebagai ukuran, Matius 4:4,7,10; Lukas 24:44-48. Para Rasul-pun menjadikan Alkitab itu ukuran satu-satunya, Kisah Para Rasul 1:20; 2:16cf; Roma 1:17; 4:6cf; 1 Petrus 2:7,10. Bapa-bapa Gereja menjadikan Alkitab itupun ukuran satu-satunya. Inilah yang disebut dengan prinsip sola scriptura.
Alkitab itu adalah otoritas tertinggi. Semua penafsiran, ajaran atau pendapat, harus merujuk kepada Alkitab. Konsekuensinya yakni semua penafsiran, ajaran atau pendapat yang tidak sesuai dengan Alkitab itu, harus ditolak.
1.3. Allah sendiri membela kebenaran Alkitab dengan memberi bukti. Setan tahu bahwa poros pengajaran tentang Allah ada dalam Alkitab. Sejarah mencatat, orang-orang yang dipakai setan berusaha membelokkan sejarah bahkan berusaha memusnahkan Alkitab. Tetapi Allah sendirilah yang melindungi ilham-Nya itu sehingga tetap utuh untuk menjadi kesaksian sepanjang zaman, Yesaya 34:16; Yeremia 36:1-32; Matius 5:18; 24:35; Lukas 16-17.
a. Bukti sejarah penyusunan Alkitab. Dari pembuktian sejarah dan naskah-naskah kuno, dapat dibuktikan bahwa Allah sendirilah yang melindungi naskah-naskah kuno penulisan wahyu Allah yang awal. Penemuan naskah-naskah kuno gua Qumran di tepi Laut Mati, merupakan bukti otentik. Naskah-naskah kuno yang tetap terpelihara itulah yang memungkinkan Alkitab terkumpul seperti yang ada sekarang ini.
b. Bukti sejarah dunia dalam kaitan dengan Alkitab. Sejarah dunia mencatat bahwa semua usaha manusia untuk memusnahkan Alkitab itu selalu gagal. Manusia memang tidak mungkin memusnahkan Firman Allah itu.
1.4 Manusia yang terbatas itu harus percaya pada keterangan Alkitab, bila ia rindu mengenal Allah yang benar. Orang yang tidak percaya Firman Allah itu tidak akan berjumpa Yesus Juruselamat dan tidak mendapatkan keselamatan itu. Orang yang tidak menerima keselamatan dari Yesus Kristus, tidak akan mengenal Allah yang benar, Yohanes 5:38-40. Untuk mengenal Allah dengan benar memang ada prosesnya. Kunci awal pembuka pengenalan akan Allah adalah percaya.
a. Iman timbul dari mendengar Firman Allah, Roma 10:17. Sudah dijelaskan di depan bahwa orang mengenal Allah dengan keyakinan. Sedangkan keyakinan yang benar – iman – berdasarkan Firman Allah, Roma 10:17. Iman adalah konsep kebenaran (the truth) yang didasarkan pada Firman Allah. Jadi iman kepada Allah adalah kebenaran-kebenaran tentang Allah yang didasarkan pada Firman Allah.
b. Tanpa iman, tidak mungkin orang berkenan kepada Allah, Ibrani 11:6a. Sudah jelas, bahwa tanpa konsep kebenaran Firman Allah, tidak seorangpun berkenan kepada Allah. Manusia tidak dapat mencari Allah dengan kebenarannya sendiri, Yudas 1:11. Allah hanya berkenan ditemui lewat konsep kebenaran Firman Allah itu sendiri.
c. Siapa berpaling kepada Allah, harus percaya bahwa Allah ada, Ibrani 11:6b. Percaya merupakan respons seseorang secara pribadi kepada konsep kebenaran Firman Allah itu, Roma 10:16. Contoh terbesar adalah orang-orang Yahudi itu. Walaupun mereka mempunyai konsep kebenaran Firman Allah, mereka beriman; tetapi ketika kebenaran itu sendiri datang, mereka tidak percaya, Yohanes 1:11; 3:18,36; 6:36, 66; 10:25.
Berbeda dengan Abraham bapa orang beriman. Ketika Firman Allah datang padanya, ia memberi respons positif; Abraham percaya kepada Allah melalui FirmanNya, Roma 4:3; Kejadian 15:1-6. Jadi percaya adalah tindakan manusia merespons Firman Allah secara positif dengan menerima Firman Allah dengan segenap hati. Untuk memulai pengenalan akan Allah, maka seseorang harus percaya sesuai Firman Allah bahwa Allah ada dan memberi pahala kepada mereka yang mencarinya.
2. Allah menurut Alkitab – Allah yang mewahyukan diriNya kepada manusia. Awal dari Alkitab adalah pernyataan awal Allah tentang diriNya sendiri. Awal dari Firman tertulis itu adalah deklarasi awal tentang Allah. Dari sinilah awal dari pengetahuan tentang Allah itu.
2.1 Allah memperkenalkan diriNya sendiri secara bertahap dan progresif kepada manusia. Inilah prinsip utama belajar tentang Allah. Allah tidak menyatakan diri sekaligus kepada manusia, melainkan bertahap dan progresif. Perlu dicamkan bahwa tahapan dan perkembangan maju dari pernyataan Allah tentang diri-Nya itu memakan kurun waktu ribuan tahun. Umur manusia tidak seperti itu. Itulah sebabnya tahapan dan perkembangan tersebut dicatat dalam Alkitab untuk kelak menjadi kesaksian bagi manusia dan kemudian dapat dipelajari oleh manusia itu.
2.2 Perkenalan pendahuluan, Kejadian 1:1. Kejadian 1:1 itu bukan sekedar awal dari pernyataan Allah tentang diriNya sendiri, melainkan sekaligus sebagai dasar pengenalan akan Allah. Dari dasar inilah, secara bertahap dan progresif Allah memperkenalkan diriNya kepada manusia makin dalam dan luas.
2.3. “Allah” dalam Kejadian 1:1. Kata ‘Allah’ dalam Kejadian 1:1 itu merupakan subjek kalimat dari ayat itu. Karena merupakan subjek atau pokok dari kalimat itu, maka kata ‘Allah’ itulah yang lebih dahulu dijelaskan singkat.
Kata ‘Allah’ itu sebenarnya diterjemahkan dari kata ELOHIM (Ibrani), GOD (Inggris). Kata ELOHIM itu berarti ‘Maha Kuasa’ – Almighty (Inggris). Jadi kata Allah disini lebih menunjuk pada sifatNya, yakni sifat kemaha-kuasaan itu dan belum menunjuk pada pribadi.
Walaupun nanti akan diuraikan lebih luas, tetapi sudah perlu dimulai disini sebagai pembukaan: Kata ‘Allah’ dalam bahasa Indonesia itu sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Tetapi secara gramatikal, kata tersebut adalah kata benda tunggal – singular. Sedangkan kata ELOHIM itu mengandung makna jamak – plural. Dalam kandungan makna jamak inilah pemahaman Bapa, Putra dan Roh Kudus dapat dijelaskan kelak.
Tetapi bukan karena kata ELOHIM itu mengandung makna jamak lalu Allahnya Alkitab itu banyak dan agamanya Alkitab menjadi Polytheisme. Melainkan Alkitab dengan tegas mengajarkan: “Dengarkanlah, hai orang Israel : TUHAN itu Allah kita. TUHAN itu esa !” Ulangan 6:4. Dengan demikian, kata ELOHIM itu bila menunjuk pada Allahnya Alkitab, tidak akan diterjemahkan menjadi ‘Allah-Allah’ atau ‘Gods’ (Inggris), melainkan tetap diterjemahkan dengan kata ‘Allah’ atau ‘God’ (Inggris).
Jadi sejak awal, secara implisit, Allahnya Alkitab itu sudah bersifat unik – tidak ada duanya – tidak ada persamaannya. Yesaya menulis: “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah ? . . .”, Yesaya 40:18.
2.4. ‘Pada mulanya’ , dalam Kejadian 1:1. Kata ini dalam bahasa aslinya mengandung makna waktu. Sedangkan waktu dalam pemahaman ini adalah kekekalan masa lampau, karena manusia tidak tahu berapa jauhnya masa lampau itu. Melihat rangkaian kata itu dalam kalimatnya, maka kata ‘pada mulanya’ itu, bukanlah keterangan untuk kata Allah, melainkan keterangan untuk kata-kata ‘langit dan bumi’.
2.5. ‘Pada mulanya Allah’, dalam Kejadian 1:1. Kata-kata ini membawa pemahaman bahwa Allah terkait dengan masa lalu. Tetapi karena kata ‘pada mulanya’ itu lebih menunjuk sebagai keterangan untuk kata-kata ‘langit dan bumi’, menjadi jelaslah pemahaman bahwa Allah itu sudah ada sebelum dimulainya ukuran kekekalan masa lampau itu. Waktu itu memang menunjuk pada kefanaan akibat dosa. Jadi sebelum ada ide tentang waktu, Allah sudah ada.
Pernyataan Alkitab tentang ‘pada mulanya Allah’ itu ternyata merupakan pernyataan tegas dari Allah sendiri untuk menihilkan isme-isme tentang allah lainnya, misalnya:
a. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan atheisme.
b. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan animisme.
c. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan polytheisme.
d. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan dualisme.
2.6. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’, Kejadian 1:1. Ayat ini sungguh-sungguh menunjukkan kedaulatan Allah dalam bertindak. Di dalam Allah-lah segala takdir berawal, sebab Ia maha kuasa dan sekaligus berdaulat. Tetapi orang tidak boleh memikirkan takdir sedemikian rupa sehingga Allah ditempatkan sebagai penguasa lalim yang semena-mena menetapkan nasib (fatum, Latin) seseorang – fatalisme. Orang seperti itu tidak memahami keseluruhan sifat-sifat Allah. Penafsiran seperti itu sungguh amat naif dan menyesatkan banyak orang. Allah harus dilihat dari seluruh sudut pandang yang diperkenankan oleh Alkitab. Untuk itulah Alkitab ada dan Kejadian 1:1 ini baru merupakan awal perkenalan tentang Allah.
Masih ada pemahaman-pemahaman lain lagi dengan kata ‘mencipta’ dan ‘langit dan bumi’. Tetapi karena uraian ini lebih tertuju pada pengungkapan tentang Allah, maka pemahaman yang berkaitan dengan kata-kata tersebut belum perlu diuraikan disini.
Pernyataan Alkitab tentang ‘pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’, ternyata merupakan pernyataan tegas dari Allah untuk menihilkan isme-isme filosofies yang membinasakan umat manusia, misalnya:
a. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’; menihilkan fatalisme. Paham fatalisme ini meyakini bahwa nasib manusia itu ditentukan oleh penentuan yang ada diluar dirinya sendiri, tanpa ia dapat mengubahnya lagi. (Catatan: Apa bedanya dengan paham Predestinasi dalam Calvinisme?). Penentuan nasib manusia menurut fatalisme itu datang dari kekuatan alam semesta itu sendiri.
Dengan adanya Kejadian 1:1 ini, paham fatalisme itu dinihilkan. Alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Jadi bukan alam semesta yang menentukan nasib manusia. Juga Allah pencipta alam semesta ini adalah Allah yang penuh kasih, 2 Petrus 3:9. Didalam Allah tidak ada bentuk fatalisme.
b. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’; menihilkan paham evolusi. Paham evolusi ini menyakini bahwa terjadinya mahluk hidup itu merupakan suatu kebetulan dalam alam semesta, sehingga tercipta satu sel hidup. Sel hidup tersebut kemudian berevolusi pada tingkat yang lebih tinggi. Muncullah species-species mahluk hidup. Species akhirnya adalah manusia.
Dengan adanya Kejadian 1:1 ini, paham evolusi itu dinihilkan. Allahlah yang menciptakan mahluk hidup itu. Mahluk hidup ciptaan itu adalah mahluk hidup yang sempurna menurut speciesnya masing-masing.
c. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’; menihilkan pantheisme. Pantheisme ini mengidentikkan Allah dengan alam. Sedangkan Kejadian 1:1 menegaskan bahwa alam ini adalah ciptaan Allah. Jadi alam ini bukanlah Allah.
d. ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’; menihilkan materialisme. Kejadian 1:1 ini hanya dapat diterima dengan iman, bukan ratio. Mengapa? Karena ratio manusia itu amat terbatas, sesuai dengan keterbatasan substansi manusia itu sendiri. Catatan: Deisme nanti akan disangkal Alkitab dalam Kejadian pasal 2.
2.7. Kesimpulan. Awal pernyataan Allah tentang diriNya sendiri dalam Kejadian 1:1 ini sungguh-sungguh merupakan dasar utama pengenalan akan Allah yang benar itu. Beberapa kesimpulan penting dari Kejadian 1:1 ini, antara lain:
a. Allah memperkenalkan diriNya secara bertahap dan progresif kepada manusia.
b. Allah itu maha kuasa. Kemaha-kuasaan itu nyata dengan tegas ketika Ia mencipta. Allah dengan kemaha-kuasaanNya itu adalah Sang Pencipta, Khalik.
c. Kata ‘Allah’ itu sendiri tak dapat menampung keseluruhan idea dari kata ELOHIM di dalamnya.
d. Allah itu unik – tidak ada duanya – tidak ada persamaannya.
e. Allah itu sudah ada sebelum ada waktu.
f. Allah itu berdaulat penuh. Di dalam Allah-lah segala takdir itu berawal. Tetapi kedaulatanNya itu tidaklah menyuburkan fatalisme, sebab sifat-sifat utama lainnya dari Allah masih belum dibicarakan dan Kejadian 1:1 itu barulah awal perkenalan.
g. Allahnya Alkitab itu sungguh-sungguh menihilkan segala macam isme filosofis manusia yang mencoba menentangNya.
h. Allahnya Alkitab itu hanya dapat dipahami lewat iman.
3. Hakekat Allah – Ada. Keberadaan atau eksistensi Allah sudah dibicarakan, bahkan Allah sendiri sudah mulai menyatakan diriNya kepada manusia. Kini muncul pernyataan, bagaimanakah sebenarnya sifat hakekat atau substansi Allah itu? Kalau eksistensinya saja sudah merupakan suatu pergumulan iman dan butuh penegasan Allah sendiri, apalagi manusia akan membicarakan hakekat atau substansiNya. Untuk memahaminya, maka Allah sendirilah yang mempersiapkan segala sesuatu dan memberi informasi yang cukup bagi manusia untuk mengenal siapa ia sebenarnya.
3.1. Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya, Kejadian 1:1-2:3. Sangat jelas bahwa dengan kedaulatan dan kemaha-kuasaan-Nya, Allah menciptakan langit dan bumi. Dari ayat-ayat ini jelas bahwa dalam kisah pertama penciptaan itu hanyalah ‘kata atau nama Allah’ yang disebut-sebut sebagai pencipta. Bahkan tiga puluh lima kali kata ELOHIM itu disebut-sebut dalam ayat-ayat ini.
3.2. Allah mulai memperkenalkan ‘pribadiNya kepada manusia, Kejadian 2:4. Ayat ini membuka sebuah tahap baru untuk mengenal Allah lebih baik lagi. Ternyata ayat ini mengungkapkan bahwa yang menciptakan langit dan bumi itu adalah TUHAN ALLAH – YEHOVA ELOHIM (berkembang dari istilah ALLAH – ELOHIM, Kejadian 1:1-2:3, menjadi istilah TUHAN ALLAH – YEHOVA ELOHIM).
Penjelasan awal dari perkembangan istilah dalam ayat ini yakni: Didalam sifat kedaulatan dan kemaha-kuasaanNya itu, Allah mulai memperkenalkan pribadiNya, yakni TUHAN – YEHOVA. Tahap baru memperkenalkan diriNya itu adalah untuk memulai memperkenalkan ‘pribadi’Nya kepada manusia.
3.3 Pribadi Allah dalam hubungannya dengan manusia, dikenal dengan nama: TUHAN, Kejadian 2:4-3:24. Karena manusia ‘mahkota ciptaan’ Nya sendiri, maka Allah memperkenalkan pribadiNya. Jadi pribadi Allah itu diperkenalkan dalam hubungan Allah yang khusus dengan manusia. Keberadaan – eksistensi Allah dapat dikenal secara umum lewat wahyu umum, tetapi pribadi Allah hanya dapat dikenal khusus dalam hubunganNya dengan manusia, lewat wahyu khusus. Dalam pribadi Allah itulah manusia dapat memahami hakekat atau substansiNya.
Perkenalan pribadiNya kepada manusia juga secara bertahap. Eksposisi Kejadian 2:4-3:24 menggambarkannya:
Kejadian 2:4; Allah mulai memperkenalkan bahwa dibalik kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya, ternyata ada pribadi Illahi yang namaNya: TUHAN. Terdapat kesan bahwa istilah Allah itu menunjuk pada lembaga Illahi. Sedangkan istilah TUHAN itu menunjuk pada nama pribadi. Jadi istilah gabungan TUHAN ALLAH itu menunjuk pada ‘lembaga Illahi yang berpribadi’.
Kejadian 2:4-7; Walaupun ada kesan bahwa cerita penciptaan dalam pasal satu diulangi lagi disini, tetapi jelas bahwa fokusnya hanya kepada manusia itu sendiri. Kalau penciptaan manusia dalam pasal satu itu bersifat umum dalam suatu kerangka universal, dalam pasal dua ini dijelaskan secara khusus hubungan istimewa manusia itu dengan TUHAN Allah. Hubungan istimewa itu adalah ‘neshamah – nafas hidup – roh manusia’, Kejadian 2:7, yang sebenarnya berasal dari TUHAN Allah. Sebelum manusia diciptakan, TUHAN Allah mempersiapkan suatu kehidupan alamiah bagi manusia.
Kejadian 2:8-9; TUHAN Allah mempersiapkan dan menempatkan manusia pada tempat khusus – Eden – supaya manusia dapat hidup dengan baik.
Kejadian 2:10-14; TUHAN Allah memberi segala faslitas kepada manusia.
Kejadian 1:15-17; TUHAN Allah memberi tugas dan hukum kepada manusia.
Kejadian 2:18; TUHAN Allah merencanakan secara istimewa teman hidup bagi manusia.
Kejadian 2:19-20; TUHAN Allah mendidik manusia memahami arti kehidupan dan menjadi dewasa.
Kejadian 2:21-22; TUHAN Allah mewujudkan rencana istimewaNya itu bagi manusia, yakni menciptakan isteri baginya.
Kejadian 2:23-25; Manusia memahaminya dan hidup menurut rencana istimewa TUHAN Allah itu.
Kejadian 3:1-24; TUHAN Allah menyiapkan rencana keselamatan bagi manusia yang jatuh ke dalam dosa.
Catatan: Ternyata ayat-ayat ini menihilkan keyakinan ‘Deisme’ itu. Allah tidak sekedar mencipta lalu meninggalkan ciptaanNya itu untuk berproses sendiri. Allah hadir dan aktif berperan dalam alam ciptaanNya; lebih khusus lagi, dalam menyelamatkan umat manusia. Jadi, dengan pengungkapan pribadi Allah melalui pernyataan Nama ‘TUHAN Allah’. Deisme itu dinihilkan.
Jadi jelas sekali bahwa dalam hubungannya yang khusus dengan manusia, Allah memperkenalkan pribadiNya dengan sebutan atau nama: TUHAN – YEHOVAH. Hal ini lebih terbuka lagi setelah mempelajari seluruh kitab Perjanjian Lama itu. Istilah Allah – ELOHIM hanya disebut 3.000-an kali, sedangkan istilah TUHAN – YEHOVAH disebut 6.823 kali dalam Kitab Perjanjian Lama itu. PribadiNyalah yang dikedepankan, bukan lembaga.
3.4 Hakekat TUHAN Allah itu, ‘ADA’ yang kekal, Keluaran 3:14-15. Ketika Allah menyuruh Musa pergi ke Mesir untuk melepaskan orang Israel dari cengkeraman kekuasaan Firaun, Musa menanyakan nama pribadi Allah yang menyuruhNya, Keluaran 3:13. Pertanyaan itu penting, sebab allah-allah Mesir, dari yang rendah sampai yang tertinggi, mempunyai nama. Allah menjelaskan kepada Musa bahwa namaNya dalam bahasa Ibrani ditulis: EHEYEH ASHER EHEYEH, yang dipendekkan menjadi EHEYEH. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan I AM THAT (WHO OR WHAT) I AM, dipendekkan menjadi I AM. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan AKU ADA YANG AKU ADA, dipendekkan menjadi AKU ADA. Dari sinilah kata Ibrani YAHWEH atau YEHOVAH itu berakar.
Kata-kata ini berarti: Aku adalah Dia yang Ada dengan sendirinya; Dia yang kekal; Dia yang senantiasa ada dan senantiasa akan ada. Kata-kata yang dipendekkan menjadi AKU ADA itu berarti: Dia yang senantiasa ada dan hidup. Nama ini sama artinya dengan ‘YEHOVAH Yang Kekal’.
3.5 Dibandingkan dengan ‘ada’nya umat manusia, Yesaya 40:6-8. Dibandingkan dengan ‘ada’nya Allah, maka eksistensi manusia hanya diumpamakan seperti rumput. Dengan kata lain, TUHAN Yang Kekal itu tidak dapat dibandingkan dengan eksistensi umat manusia yang fana itu.
3.6 Dibandingkan dengan ‘ada’nya alam semesta. Eksistensi alam semestapun tidak sebanding dengan ‘ada’nya TUHAN Allah . Alkitab memberi kesaksian, bahwa: Kejadian 1:1; TUHAN Allah yang menciptakan langit dan bumi (universe – alam semesta) ini.
2 Petrus 3:7; TUHAN Allah yang memelihara langit dan bumi ini. Matius 24:35; 2 Petrus 3:10-13; TUHAN Allah akan membinasakan langit dan bumi ini; dan kemudian menciptakan langit dan bumi baru. Dengan kata lain, eksistensi alam semesta ini tidak kekal seperti ‘ada’nya TUHAN Allah.
3.7 Kesimpulan. Sebenarnya, berbicara tentang hakekat adalah berbicara tentang isi filsafat, yakni bidang metafisika. Tetapi hakekat Allah itu tidak dapat dipahami oleh kemampuan manusia menganalisa sekedar informasi wahyu umum untuk mencari epistemologinya. Pengetahuan tentang Allah yang menjadi ukuran kebenaran hanyalah didapat dari informasi wahyu khusus itu. Sekali lagi, bukan oleh kesanggupan manusia menganalisa wahyu umum. Sehigga nampak jelas bahwa hakekat Allah itu tidak dapat dipahami secara filosofis melalui metafisikanya. Hanya Alkitablah yang memberi informasi tentang hakekat Allah itu.
‘Pengkotbah’, orang berhikmat yang mencari hakekat kehidupan, menulis: “Apa yang ada, itu jauh dan dalam, sangat dalam, siapa yang dapat menemukannya?”, Pengkotbah 7:24. Kata ‘ada’ disini menunjuk pada akar kata yang sama dengan ‘ada’ dalam Keluaran 3:14.
Jadi, menurut Alkitab, hakekat TUHAN Allah adalah ‘ADA’. Sifat ‘ADA’nya TUHAN Allah itu jauh berada diluar jangkauan analisa filosofis manusia, yakni:
a. ADA – yang essensial, hakiki, substansi.
b. ADA – karena diri-Nya sendiri, bukan diadakan, self existent, Wahyu 16:5.
c. ADA – penyebab segala yang ada – cause prima, Roma 11:36.
d. ADA – Maha Ada, melebihi konsep manusia tentang ruang, Mazmur 139:5-12.
e. ADA – tidak terbatas, tidak berubah, kekal, Yakobus 1:17; Maleakhi 3:6; 2 Timotius 2:13.
f. ADA – melampaui konsep waktu akibat dosa, Keluaran 3:14; Ibrani 13:8; Wahyu 1:17; kekal.
g. ADA – kehidupan kekal; sumber kehidupan, Kisah Para Rasul 17:25, 28; Ayub 34:14-15.
h. ADA – suatu pribadi; Maha Pribadi.
i. ADA – creatio ex nihilo; sifat penciptaan Allah, Kejadian pasal satu – mencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Pandangan filosofi manusia adalah ex nihilo fit – dari ketiadaan, tidak ada sesuatu yang jadi – from nothing, nothing comes. Tetapi mustahil bagi manusia, bagi Allah tidak mustahil. Dari hakekatNya sendiri, Allah mencipta sesuatu dari yang nihil menjadi ada! Kejadian pasal satu.
BAB III: PRIBADI ALLAH
Allah yang berpribadi merupakan pernyataan agung Ilahi, sehingga manusia tidak hanya mengenal Allah dalam bentuk kelembagaan yang biasanya kaku, tetapi mengenalNya secara pribadi. Sebenarnya istilah ‘pribadi’ atau ‘oknum’ atau ‘person’ mengandung arti keadaan orang-perorangan yang dapat dilihat dari seluruh sifat yang merupakan watak orang tersebut. Dengan istilah ‘pribadi’ ini, kita dapat mengenal seseorang lebih baik dan lebih dalam lagi. Jadi, Allah sebagai pribadi adalah Allah yang menyatakan diriNya dalam seluruh sifatNya, sehingga manusia mengenal siapa Dia.
1. Lembaga ke-Allahan dan Pribadi Allah. Istilah ‘Allah’ adalah istilah umum diseluruh dunia, walaupun dalam bentuk kata yang berbeda: EL (Ibrani); THEOS (Grika); DEUS (Latin); GOD (Inggris); ALLAH; DEWA; (di Minahasa dikenal dengan istilah ‘OPO’), dan lain-lain. Istilah Allah sebenarnya menunjuk pada suatu pengertian tentang ‘lembaga’, yang mempunyai otoritas mutlak atas seluruh alam semesta, dan kepadanya manusia menyembah. Bila dalam agama-agama polytheisme, lembaga ke-Allahan itu memiliki begitu banyak allah. Allah-allah ini masing-masing dengan sifat dan perannya sendiri-sendiri. Ada allah yang khusus mengurus kematian – dewa maut. Ada allah yang khusus mengurus hujan – dewa hujan, dan sederetan tugas serta sifat ataupun peran. Tetapi Allah-nya Alkitab adalah suatu pribadi (Maha Pribadi) Yang Esa. Maha Pribadi itu memiliki seluruh sifat Ilahi yang ada. Jadi dalam lembaga ke-Allahan itu berdiam pribadi Yang Esa dengan seluruh sifat Ilahi.
Lembaga manusia dapat terpisah dari pribadi manusia itu pada saat ia mati. Tetapi lembaga ke-Allahan menurut Alkitab itu tidak dapat dipisahkan dari Pribadi Allah, karena Allah itu hidup, dalam arti hidup kekal.
2. Allah itu berpribadi. Menarik sekaligus rumit, bila kita menyimak berbagai pandangan yang berkembang sejak Gereja mula-mula tentang pribadi Allah. Pribadi atau oknum atau Hypotasis (Grika) atau Persona (Latin). Bagaimana bentuknya berbagai nuansa pandangan mereka itu tidak akan dibicarakan dalam bagian ini. Tetapi yang terutama dibuktikan dulu dari Alkitab yakni bahwa Allah itu berpribadi. Bukti-bukti Allah berpribadi yakni antara lain:
2.1 Sebagai Pribadi; Allah memperkenalkan NamaNya. Ada bagian tersendiri membicarakan Nama Allah secara luas dan mendalam. Allah Alkitab memperkenalkan NamaNya, Keluaran 3:14; 6:1-2. Nama itu jelas menunjuk pada pribadi.
2.2 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan pikiranNya, Mazmur 139:17; Yesaya 40:13; 50:9; Zakharia 1:6; 8:14-15; Kisah Para Rasul 15:18; 1 Korintus 2:11, 16. Hasil berpikir adalah maksud, niat atau rencana. Jelas, Alkitab berisi pikiran dalam bentuk rencana agung Allah untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia. Hanya orang-orang rohanilah yang memahami rencana Allah itu.
2.3 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan emosi atau perasaanNya. Bentuk-bentuk perasaan itu amat, seperti: Kejadian 6:6, menyesal; Keluaran 20:5; Ulangan 6:15, cemburu; Ulangan 1:37; 4:21; 9:8; 2 Raja-raja 17:18, murka; Mazmur 45:8; Ibrani 1:9, mencintai atau membenci, dan lain-lain.
2.4 Sebagai Pribadi; Allah dikenal dengan kehendak atau keinginanNya. Kehendak atau keinginan Allah itu begitu jelas dalam Alkitab Yosua 3:10, Allah sungguh-sungguh menepati janji-Nya. Mazmur 115:3, Allah melakukan apa kehendakNya. 2 Petrus 3:9, Allah tidak suka seorangpun binasa.
3. Keadaan dasar (nature) pribadi Allah. Keadaan dasar manusia itu antara lain: lemah, tidak sempurna dan seterusnya. Alkitab menyimpulkan bahwa keadaan dasar manusia adalah ‘daging’. Dengan demikian kita mengenal siapa manusia itu. Demikian juga dengan Allah jelas dari uraian diatas bahwa Allah itu berpribadi, tetapi pribadi itu amat luar biasa bila keadaan dasar (nature) dan sifat-sifat (attributes)Nya dapat dipelajari. Tidak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan keadaan pribadi itu selain menegaskan bahwa pribadi itu sungguh-sungguh melampaui kesanggupan daya analisa manusia, sehingga hanya cocok disebut dengan ‘Maha Pribadi’. Dengan tepat Paulus mulai memberi gambaran kepada orang-orang kafir, bahwa: “. . . kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan Ilahi sama seperti emas atau perak atau batu ciptaan kesenian dan keahlian manusia”, Kisah Para Rasul 17:29.


TEMPAT WISATA PANCURAN 7 BATURRADDEN